Jumat, 28 Agustus 2015

Revolusi Mental?

https://www.islampos.com/wp-content/uploads/2015/06/lelaki-marah-hardik-490x326.jpg
Oleh: Ibnu Nafisah


BAGIAN mana yang perlu diubah dan bagian mana yang telah diubah? Apakah sistem atau tabiat orang perorangnya?

Orang Indonesia sangat pandai mengupgrade satu kata menjadi kata baru yang bisa diterima, tapi rasanya tetap sama. Seperti jika hari lebaran tiba, toples bermacam rupa dengan kue beragam bentuk dan warna, namun semuanya berjudul kue kering yang terbuat dari tepung dan mentega.

Di kantor-kantor banyak dielu-elukan isu revolusi mental. Dan tetap banyak pula penyimpangan yang terlihat. Meski tak mau disebut korupsi, namun tetap saja mengambil sesuatu yang bukan haknya atas nama ini dan itu.

Berurusan dengan birokrasi hari gini jangan kaget. Jika tak punya jaringan dan kantong yang tebal jangan harap urusan bisa beres tepat waktu. Cuma jadi bola tenis mantul dari meja ke meja dan akhirnya nambrak tembok.

Sepertinya kemajuan zaman telah berhasil mendidik orang-orang malas menjadi lebih pandai dan hidup nyaman. Jika malas masuk kantor atau terlambat karena antar anak-istri, cukup sms atau menelepon. Jika tidak menyukai sesuatu tinggal mengupload di media sosial hingga jadi berita utama.
Jika tiba di kantor dan malas kerja laptop kantor jadi alasan. Memasang wajah serius di depannya seperti sedang bekerja, nyatanya main game house atau facebookan dan chattingan. Pegawai online, serasa kerja benaran.
 
Lihat saja pendidikan kita diawal tahun ajaran. Nama “Ospek” tiap tahunnya berevolusi. Namanya berganti dari tahun ke tahun tapi tetap saja berasa sama. Ada korban baru seiring nama baru.
Para pengemis pun berevolusi dari pinggir jalan dan lampu merah kini sudah mulai melebarkan sayap ke kantor dan rumah-rumah warga dengan menjual nama agama dengan pakaian lebih muslimah.
Hingga penjual pisang pun kini tak mau ketinggalan. Pisang goreng yang dulunya seribu atau dua ribu rupiah mendulang sukses dengan nama baru “Pisang Keju” dengan harga fantastis dua puluh lima ribu rupiah.

Apalagi kopi susu menjadi “Coffee Milk”, teh menjadi “Hot Tea” atau bahkan nasi goreng menjadi “Fried Rice” dan sebagai dan sebagainya jika sudah berevolusi menjadi nama dengan berembel-embel berbahasa Inggris pokoknya harus berhati-hati. Rasa sama tapi harga belum tentu.
Bahkan almamater sendiri pun berubah dari UNHALU menjadi UHO, semoga saja standarisasinya berubah menjadi lebih baik.

Dan yang paling miris ketika pencurian di lorong berevolusi. Kini tak ada lagi pencurian ayam (curyam), pencurian pakaian (curkai), pencurian panci (curpan) dan lain-lain. Pencuri sekarang gengsi buat nyuri hal-hal di atas. Mereka merasa lebih keren jika mencuri handphone (curphone), tablet (curtab), laptop (curtop), power bank (curbank), dan sebangsanya. Mungkin mereka pandai melihat pasar di zaman yang serba canggih.

Apa inti sebenarnya dari revolusi mental ini? Yang dapat saya tarik benang merahnya mungkin adalah perubahan. Ya, perubahan nama sesuatu tapi isinya tetap yang kemarin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar