Senin, 20 Juli 2015

Suara Hati Anak Pengungsi Ambon untuk Bapak Jusuf Kalla dan Pemimpin Muslim di Indonesia Terkait Duka Idul Fitri di Tolikara, Papua

Sabtu 2 Syawal 1436 / 18 Juli 2015 16:37

tolikara

Oleh: Raidah Athirah

SEHARUSNYA saya bertakbir penuh rasa syukur dan bahagia mengisi hari di langit kemenangan, akan tetapi saya mengingat luka dan airmata saat mengenang tragedi Ambon di tahun 99 manakala seorang sister di Finlandia mengirim tautan dalam bahasa Inggris mengenai penyerangan saat idul fitri di Tolikara, Papua.

http://www.doamuslims.org/?p=4127
Sebagai anak bangsa yang berada di rantau, saya menjawab tergesa-gesa kepada sister bahwa mungkin saja ini hanya berita hoax.

Saya benar-benar berharap bahwa berita ini adalah hoax agar saya dan anak-anak yang pernah mengalami luka ini tak perlu lagi membuka kisah perjalanan derita yang sudah terikat damai di bumi Malino.

Namun saya harus menerima kenyataan bahwa Bapak pemimpin Indonesia telah lalai menjaga martabat dan harga diri anak Muslim di tanah air dari ekstrimis Kristen yang biadab dan menginjak hak orang-orang Islam berhari raya.

KARENA CINTA, IA TINGGALKAN PNS UNTUK FOKUS BERDAKWAH



Ustadz Muflih Safitra, da’i satu ini mungkin sudah tak asing lagi di kalangan umat muslim yang ada di Balikpapan. Kiprahnya sebagai da’i sudah dimulai sejak dirinya masih duduk di bangku tsanawiyah. Saat menginjak usia 13 tahun, ia sering berceramah keliling di bulan Ramadhan.

Ayahnya, M. Saad Ali juga seorang PNS yang sering mengisi khutbah dan ceramah. Kalau sedang mengisi ceramah di berbagai tempat, Muflih kerap ikut menemani sekaligus mendengarkan ceramah ayahnya. “Sejak kecil saya sering ikut kegiatan Islami, seperti MTQ dan ceramah. Saat Ramadhan tiba, ayah saya sering mengajak saya keliling berceramah,” ujar Muflih.

Setelah lulus sekolah, ia melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta. Ia menyelesaikan studi dalam waktu 3 tahun 5 bulan dengan IPK 3,89 (cumlaude).

KISAH INSPIRATIF. PELAJARAN BERHARGA DARI SEORANG OFFICE BOY



 Deni adalah seorang copywriter di sebuah biro iklan lokal. Teman- temannya mengatakan bahwa Deni sedang kesulitan keuangan. Kok tahu? Ya taulah. Karena setiap kali kekurangan uang, Deni selalu sibuk meminjam uang sana sini. Beberapa temannya ada yang menolak karena setiap bulan dia hampir selalu meminjam uang.

Memang, setelah gajian utangnya pasti dibayar, tapi beberapa hari kemudian pinjam lagi. Lama-kelamaan teman-temannya merasa keberatan. Kalau sudah demikian, maka Deni sibuk mencari-cari siapa yang dapat meminjamkan uangnya. Akhirnya Deni mendapatkan juga uang yang dibutuhkannya, kali ini dia meminjam dari office boy di kantornya. Sebenarnya Deni malu. Uangnya sudah habis padahal baru tanggal 16. Dia sudah tidak punya uang lagi untuk naik taxi ke kantor dan untuk biaya makan.

Bolehnya meninggalkan Shalat Jumat bagi yang telah melaksanakan Shalat Ied.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa Shalat Jumat tidak perlu dilakukan jika Hari Raya Idul Fitri jatuh pada hari Jumat. Benarkah itu? Bagaimana halnya dengan Idul Fitri 1436 Hijriyah yang telah berlangsung pada hari Jumat 17 Juli 2015 tiga hari yang lalu?

Menganai persoalan itu para ulama memiliki dua pendapat.

Pendapat Pertama: 

Orang yang melaksanakan Shalat ‘Ied tetap wajib melaksanakan Shalat Jumat. Pendapat tersebut dikatakan sebagai pendapat kebanyakan pakar fikih. Namun ulama Syafi’iyah menggugurkan kewajiban ini bagi orang yang nomaden (al bawadiy). Dalil dari pendapat ini adalah:

Pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ

Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al Jumu’ah: 9)

Kedua: Dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Jum’at. Di antara sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,