Tragedi Kampung Pulo Adalah Buah Kebijakan Rezim Kapitalistik
Relokasi warga Kampung Pulo Jakarta telah menimbulkan pro-kontra di
tengah masyarakat, khususnya di ibu kota. Hujan batu dan tangis warga
mewarnai proses relokasi pemukiman yang sudah dihuni puluhan tahun.
Proses relokasi sendiri berjalan alot bahkan terjadi tindak kekerasan
baik dari pihak warga maupun aparat.
Dengan alasan normalisasi kawasan bantaran kali, pemerintah provinsi DKI Jakarta melakukan program relokasi warga Kampung Pulo ke kawasan rumah susun Jatinegara. Selama ini ada pandangan bahwa pemukiman padat penduduk di bantaran kali penyebab banjir di Jakarta. Maka setelah Kampung Pulo, pemprov DKI sudah bersiap-siap melakukan penggusuran di kawasan lain seperti Bukit Duri.
Ketidakadilan Yang Vulgar
Tapi sulit untuk mempercayai konsistensi tindakan Pemprov DKI dalam
melakukan normalisasi lingkungan. Pasalnya, tindakan serupa tak
dilakukan terhadap hunian mewah atau mall yang berdiri di atas kawasan
resapan air dan kawasan hijau lainnya.
Sudah sama-sama diketahui banyak kawasan hijau seperti hutan kota,
persawahan dan hutan mangrove di Jakarta diserobot para pengembang kelas
kakap dan para konglomerat. Pengamat perkotaan dari Universitas
Trisakti Nirwono Joga menyatakan bahwa banyak kawasan resapan air di
Jakarta telah beralih fungsi menjadi kawasan perumahan elit dan
pusat-pusat bisnis. Ia menyebutkan kawasan Mall Taman Anggrek Slipi
adalah salah satu contoh penyalahgunaan fungsi lahan dari kawasan hutan
kota menjadi mall.
Nirwono menyoroti semakin terhimpitnya luas lahan terbuka hijau di ibu
kota. Pada 1965 luas ruang terbuka hijau di Jakarta mencapai 37,2
persen. Kemudian pada 1985 merosot menjadi 25,8 persen. Pada 2000
luasnya makin parah yaitu tinggal 9 persen.
Beberapa perumahan mewah dan sentra bisnis telah merebut daerah resapan
air bahkan persawahan. Sebut saja mall Kelapa Gading dan Kelapa Gading
Square. Pantai Indah Kapuk yang awalnya kawasan hutan lindung menjadi
permukiman elit Pantai Indah Kapuk, Mutiara Indah, dan Damai Indah
Padang Golf.
Juga kawasan Sunter yang merupakan area resapan air menjadi permukiman
elit Sunter Agung, PT Astra Komponen, Astra Daihatsu, PT Denso
Indonesia, dan PT Dunia Express Trasindo.
Hutan Kota Senayan menjadi Hotel Mulia, Sultan Hotel, stasiun pengisian
bahan bakar umum (SPBU) Semanggi, Senayan Residence Apartment, Hotel
Century Atlet, Simprug Golf, dan Plaza Senayan. Terakhir, Hutan Kota
Tomang menjadi Mall Taman Anggrek dan Mediteranian Garden Residence I
dan II.
Ada lebih dari 3.000 hektare (ha) kawasan yang awalnya berfungsi sebagai
tangkapan air dan hutan kota, kini beralih fungsi menjadi bangunan.
Tapi terhadap kawasan-kawasan tersebut, Ahok justru senyap. Padahal pada
tahun 2013 saat masih menjabat wakil gubernur, ia terang-terangan
mengatakan bahwa banyak pemukiman elit dan sentra bisnis menjadi
penyebab banjir karena berdiri di atas kawasan resapan air
(vivanews.co.id, 12/10/2013).
Namun saat itu ia juga mengatakan bahwa Pemprov DKI tak bisa berbuat
apa-apa karena semua kawasan tersebut mengantongi surat izin. “Kalau
dipaksakan kita bisa dituntut ke pengadilan. Di-PTUN-kan,” akunya.
Sikap inilah yang mencurigakan. Mengapa ia begitu gagah menggusur warga
miskin di bantaran kali, tapi tak melakukan hal serupa dengan kawasan
elit bila memang sama-sama beralasan menyelesaikan problem banjir di
Jakarta.
Apalagi pernyataan bahwa hunian bantaran kali adalah penyebab utama
Jakarta kebanjiran juga diragukan banyak pakar perkotaan. Tanpa
mengesampingkan efek buruk membuang sampah ke sungai, namun penyumbang
terbesar banjir di Jakarta adalah dirampasnya kawasan hijau dan
reklamasi pantai oleh para konglomerat.
Kelihatan jelas Ahok berusaha mengecoh publik bahwa tindakannya benar
dan bertanggung jawab. Sementara biang utama penyebab banjir di Jakarta
tidak ia sentuh sama sekali.
Slender Kapitalisme
Kebijakan yang kita saksikan saat ini adalah kebijakan pembangunan
berbasis kapitalisme. Dimana negara bersekutu dengan kaum kapitalis
untuk mengeruk keuntungan berdalih pembangunan, padahal rakyatlah yang
menjadi korban.
Sudah cukup lama warga di tanah air, khususnya ibu kota Jakarta menjadi
korban kolusi pengusaha dan kaum kapitalis dengan kedok pembangunan. Di
masa Orde Baru salah satu contoh besarnya adalah pembangunan Pantai
Indah Kapuk (PIK) di kawasan Jakarta Utara. Perumahan mewah itu berdiri
di atas tanah seluas 831 ha itu dengan menimbun rawa-rawa, tambak dan
membabat kawasan konservasi hutan mangrove.
Padahal kawasan perumaha elit itu berdiri di atas hutan mangrove Angke
Kapuk yang sudah dikukuhkan Cagar Alam sejak tahun 1939 seluas 1.114 ha
pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Kala itu Belanda merancangnya
sebagai daerah penyangga lahan basah untuk menampung masa air pada saat
pasang besar dan banjir. Kawasan ini dikenal juga sebagai terminal air
kota Jakarta yang di antaranya juga berperan tempat pembuangan air ke
laut di saat hujan.
Ironisnya demi memihak kaum kapitalis, pemerintah justru mengabaikan
kepentingan publik dan keseimbangan lingkungan. Mulai dari pemerintah
pusat hingga Pemprov DKI. Pada tahun 1984 Menteri Kehutanan justru
memberikan izin tukar guling cagar alam ini ke wilayah Sukabumi dan
Cianjur. Lalu meski tanpa AMDAL, Pemprov DKI Jakarta menerbitkan Surat
Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) yang kemudian dilanjutkan
dengan menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Saat itu Ciputra mengumbar janji bahwa PIK tidak akan merusak
lingkungan, “Monyet-monyet tak akan berkurang. Saya akan lebih banyak
menanam bakau, ketapang … Jika kelak kerusakan lingkungan terbukti, saya
siap dihadapkan ke meja hijau. Saya mempertaruhkan segalanya: nama
baik, moral, bank guarantee.”
Faktanya, pasca pembangunan kawasanan PIK banjir di sekitar wilayah itu
kian parah, karena Muara Angke yang sebenarnya dapat menampung 20 juta
meter kubik air akhirnya tidak lagi berfungsi. Banjir dahsyat pun
menggenangi kawasan PIK hingga kawasan bandara.
Kini Ahok pun mengambil tindakan serupa para pendahulunya. Diam-diam
Ahok mengeluarkan Keputusan Gubernur No. 2238 yang memberi ijin proyek
pada PT. Muara Wisesa Samudera, anak perusahaan Agung Podomoro Land
untuk melakukan proyek reklamasi Pulau G Pluit City.
Ijin reklamasi ini melahirkan kontroversi karena Kementerian Kelautan
dan Perikanan (KKP) serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) menuduh Ahok telah melampaui kewenangannya. Menurut KKP dan KLHK,
sesuai dengan UU nomor 27 tahun 2007 jo UU nomor 1 tahun 2014, Perpres
nomor 122 tahun 2012 serta Permen KP nomor 17 tahun 2013 jo. Permen KP
nomor 28 tahun 2014 tentang Perijinan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil, ijin reklamasi wilayah strategis nasional adalah
wewenang pemerintah pusat, bukan wewenang Ahok.
Tapi apa daya, aturan hanyalah di atas kertas. Dampak kerusakan
lingkungan yang diperingatkan oleh para pakar lingkungan dianggap angin
lalu, kepentingan uanglah yang kini didewa-dewakan oleh para kapitalis
dan penguasa. Kolusi penguasa dan pengusaha di alam demokrasi liberal
tak akan pernah berhenti.
Bagi penguasa kaum kapitalis adalah mitra untuk mengumpulkan pundi-pundi
kekayaan termasuk untuk memuluskan mereka pada ajang pilkada atau
pemilu berikutnya. Sedangkan bagi kaum kapitalis, penguasa adalah mitra
dalam mengeruk profit sekaligus bumper mereka untuk menghadapi gugatan
rakyat.
Maka dibalik pemujaan media dan para pendukungnya kepada Ahok, yang
dicitrakan berani, tegas, bersih dan anti korupsi, sebenarnya ia tak ada
beda dengan rezim-rezim daerah lain yang pro-kapitalis. Hanya berani
menggertak rakyat kecil yang kebetulan berbuat salah, itupun karena
faktor kemiskinan belaka, tapi senyap melawan kejahatan konglomerat
hitam sekalipun begitu jelas melanggar aturan.
Sumber : www.visimuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar