Selasa 20 Ramadhan 1436 / 7 Juli 2015 13:50
ISLAM itu menghasilkan pohon peradaban. Dengan peradaban Islam, dapat menghidupi orang India, Persia, Spanyol, Mesir, dan seluruh dunia. Dengan peradaban ilmu Islam, mereka menjadi hidup. Maka Kitab suci yang menghasilkan banyak kajian ilmiah dan disiplin ilmu hanyalah Al Qur’an. Sebut saja seperti ilmu fiqih, kalam, tafsir, hadits, falsafah, tasawuf dan sebagainya.
“Bagi orang Islam, ilmu itu seperti makanan. Tapi bagi kaum Kristen, ilmu itu adalah ancaman bagi gereja, karena Bibel tidak bisa mengakomodir perkembangan sains,” kata Ketua Umum Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi alias Gus Hamid dalam tausyiahnya di Jakarta, Ahad (5/7/2015).
Wajah Islam itu keilmuan. Maka Islam berkembang dalam wujud peradaban ilmu pengetahuan. Tokoh pendiri INSISTS ini membantah anggapan, bahwa peradaban Islam itu berdarah-darah, dengan alasan beberapa Khulafaurrasyidin semuanya terbunuh, belum lagi peperangan antara Ali ra dengan Muawiyah.
“Hati-hati, ini jebakan batman yang menyesatkan. Jika ditelusuri siapa yang membunuh khalifah itu, justru bukan dari internal Islam, melainkan Yahudi. Jika terjadi pembunuhan di dalam internal umat Islam, maka tidak akan terjadi peradaban. Yang terjadi malah, peradaban ilmu pengetahuan terus berkembang,” terang Gus Hamid panjang lebar.
Bahkan ketika itu Muawiyah diprovokasi Romawi untuk melawan Ali. Begitu juga Ali diprovokasi untuk melawan Muawiyah. Jadi siapa sesungguhnya yang membuat onar di dalam intenal umat Islam. Kenyataannya ada pihak eksternal yang membuat kegaduhan.
“Makanya jangan lihat sejarah hanya darahnya saja, tapi juga lihat peradaban ilmunya. Peradaban Eropa tidak akan lahir jika tidak ada Spanyol (Andalusia).”
Sinergi Klasik – Kontemporer
“Jadi Nusantara ini sudah di-Islamkan. Maka Islam itu jangan di-Nusantarakan, tapi Nusantara sudah di-Islamkan.”
Bicara tentang keilmuan, Gus Hamid merasa perlu mensinergikan kitab klasik dengan ilmu kontemporer. Sangat disayangkan jika bertahun-tahun mengaji kitab klasik di pesantren, tapi tidak menghasilkan produk sistem ekonomi syariah.
“Anehnya, ekonomi syariah malah muncul di perguruan tinggi, bukan di pesantren. Ternyata, orang di sejumlah fakultas membutuhkan kitab klasik. Itulah sebabnya, perlu dipertemukan tradisi dengan modernisasi atau kontemporer,” kata Hamid.
Tradisi pemikiran Islam yang dikembangkan INSISTS dan MIUMI adakalanya tidak popular di kalangan masyarakat yang melibatkan orang banyak.
“Tidak seperti orang nonton konser musik dengan menyedot massa yang banyak. Jadi tidak masalah jika INSISTS diikuti orang yang sedikit. Yang sedikit itu harganya mahal.”
Selama ini, wajah umat Islam punya massa yang besar, tapi tidak ada kualitas. Karena itu, INSISTS dimulai dari tradisi keilmuan, walau dirasakan berat.
“Saya pernah dengar, jika orang INSISTS ceramah, ibaratnya kalau kepala belum ngebul atau pusing, belum bisa paham.”
INSISTS ingin menghapus stigma wajah Islam jalanan, hura-hura, dan emosional. “Makanya kita buat Islam gedongan, tentu yang punya keimanan dan intelektual yang tinggi. Meski gedongan, kita tetap punya komunitas. Jika kita bergabung dengan majelis ilmu, maka akan dinaikkan derajatnya oleh Allah ke tempat yang tinggi. Bahkan ikan di laut pun bertasbih dan mendoakan mereka yang mencari ilmu,” ungkap Hamid. [Desastian/Islampos]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar