Televisi merupakan sarana komunikasi utama disebagian besar masyarakat
kita, tidak terkecuali di masyarakat barat. Tidak ada media lain yang
dapat menandingi televisi dalam hal volume teks budaya pop yang
diproduksinya dan banyaknya penonton. Tayangan Televisi harus diatur
karena mempengaruhi sikap dan perilaku khalayak khususnya bagi yang
belum memiliki referensi yang kuat, yakni anak-anak dan remaja. Terlebih
karena televisi bersifat audio visual sinematografis yang memiliki
dampak besar terhadap perilaku khalayaknya seperti pengaruh jarum suntik
terhadap manusia. Tayangan-tayangan di televisi saat ini mempunyai
kecendrungan mengabaikan ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan.
Hal ini terlihat dari ditonjolkannya eksploitasi sex, kekerasan, budaya konsumenisme dan hedonisme. Bahkan pada masa remaja normal, semakin banyak kekerasan yang mereka lihat, semakin berkurang aktifitas berfikir, belajar, melakukan pertimbangan, dan kontrol emosi pada otak. Pada sisi lain, berbagai bentuk tayangan yang memuat adegan kekerasan seks dan tema dewasa lainnya akan terus bertambah intensitasnya. Bahaya televisi yang diklasifikasikan dalam beberapa bagian, diantaranya: bahaya dari sisi keberagaman anak, bahaya dari sisi perilaku anak, bahaya dari sisi kesehatan, dan bahaya dari sisi kemasyarakatan. Tidak sedikit program televisi yang menyuguhkan acara anak yang merupakan hasil impor dari negara-negara Barat, yang dapat merusak fitrah keimanan anak kepada Allah SWT. Terlebih lagi, ada program acara anak yang menceritakan adanya tuhan dengan nama tertentu, seperti bernama “Tuhan” Zella (Godzila) sang penyelamat manusia dari kejahatan.
Sebagian besar
acara televisi untuk anak-termasuk acara program pendidikan tidak mampu
mengembangkan potensi kecerdasan anak karena mayoritas acara tersebut
menyuguhkan jawaban atau solusi praktis. Hal ini melemahkan potensi anak
untuk berpikir. Dampak dari kekerasan di televisi terhadap sang anak
menimbulkan dampak psikologis negatif yang sering kali meresahkan orang
tua, bahkan budaya dan kebiasaan untuk menonton televisi seharian di
waktu libur atau jam-jam yang kosong sudah menjadi aktivitas. Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menyebutkan, aduan masyarakat terkait
tayangan kekerasan berada di urutan kedua terbanyak. Hal ini dikatakan
Azimah Soebagdjo, Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan.
“Untuk aduan terbanyak urutan pertama terkait tema. Urutan kedua
tayangan kekerasan, dan urutan ketiga tayangan pornografi”. Azimah
menjelaskan, dalam periode 6 bulan terakhir (Juni-November 2010), KPI
Pusat mencatat ada 920 kali adegan kekerasan (baik kekerasan fisik
maupun nonfisik) yang ditayangkan berbagai stasiun televisi. Itu terjadi
pada tahun 2010, lalu bagaimana dengan tahun2015? Perinciannya, untuk
tayangan kekerasan fisik sebanyak 625 kali atau 67,9% dan tayangan
nonfisik 295 kali atau 32,1%. Sebagaimana yang dikatakan oleh KPAI, ada
banyak pemicu kekerasan anak seperti KDRT, disfungsi keluarga, yaitu
peran orang tua tidak berjalan sebagaimana seharusnya, tekanan
ekonomi/kemiskinan, salah pola asuh, terinspirasi tayangan media.
Belum
lagi berbagai kontradiksi hukum yang berjalan, seperti perubahan
kurikulum pendidikan yang tidak memberikan pengaruh pada perbaikan,
negara menyeret kaum ibu yang notabene merupakan pendidik pertama dan
utama bagi anak untuk terjun ke dunia kerja yang eksploitatif demi
mendongkrak ekonomi keluarga dan bangsa atau sekedar untuk eksistensi
sehingga abai dalam mendidik generasi. Kemudian tidak ada perangkat
sistem yang memadai untuk mengaktifkan fungsi-fungsi keluarga yang tidak
cukup dengan pelatihan calon pengantin saja. Negara juga tidak tegas
dalam menangani pengaruh buruk dari industri bisnis dan media yang
menawarkan gaya hidup hedonis dan paham lainnya yang merusak. Sebenarnya
sistem yang diterapkan di negeri inilah yang senantiasa memproduksi
bebagai masalah anak dalam jumlah dan bentuk yang semakin mengerikan.
Pengaruh liberalisme atau pergaulan hidup bebas, faktor lingkungan dan
keluarga yang mendukung ke arah perilaku tersebut serta pengaruh
perkembangan media massa tampaknya menjadi faktor-faktor penting yang
mempengaruhi remaja melakukan seks pra nikah. Untuk menjaga akhlak
remaja kita, termasuk menjaga kegadisan dan keperjakaan mereka sudah
semestinya faktor-faktor di atas dikelola dengan baik. Termasuk dalam
hal ini, peran negara dalam menjaga dan melindungi generasi muda dari
berbagai pengaruh buruk globalisasi. Dampak negatif itu, salah satunya
bisa mewujud dalam bentuk tersebarnya budaya pergaulan bebas di kalangan
remaja. banyak sinetron lain yang merusak bahkan mengganggu akidah.
Model-model sihir begitu, mayat terbang, alam ghaib dan sebagainya.
Sebuah masyarakat bisa sakit, juga bisa sehat. Sehat atau tidaknya
masyarakat dilihat dari kualitas interaksi sosialnya. Interaksi sosial
di dalam masyarakat terjadi karena empat komponen: (1)
individu-individunya sebagai anggota masyarakat; (2) kumpulan pemikiran
yang diadopsi masyarakat; (3) perasaan kolektif masyarakat; (4) sistem
atau aturan hidup yang mengatur berbagai interaksi masyarakat.
Di mata anak-anak, kekerasan yang ada menjadi hal yang biasa, dan
boleh-boleh saja dilakukan apalagi terhadap orang yang bersalah,karena
memang itu semua ditunjukkan dalam film-film. Bahkan ada kecenderungan
bahwa orang yang melakukan kekerasan terhadap "orang jahat" adalah suatu
tindakan yang heroik, tidak peduli dengan prosedur hukum yang
seharusnya berlaku. Penelitian menunjukkan bahwa akibat dari terlalu
banyak menonton TV, anak dapat jadi beranggapan bahwa kekerasan adalah
hal yang wajar, dan bagian dari hidup sehari-hari. Dan sebagai
akibatnya, mereka menjadi lebih agresif dan memiliki kecenderungan untuk
memecahkan tiap persoalan dengan jalan kekerasan terhadap orang lain.
Efek lain dari terlalu banyak menonton TV adalah anak menjadi pasif dan
tidak kreatif. Mereka kurang beraktivitas, tetapi hanya duduk di depan
TV dan melihat apa yang ada di TV. Baik secara fisik maupun mental, anak
menjadi pasif, karena memang orang yang menonton TV tidak perlu berbuat
apa-apa. Hanya duduk, mendengar dan melihat apa yang ada di TV.
Kemampuan berpikir dan kreatifitas anak tidak terasah, karena ia tidak
perlu lagi membayangkan sesuatu seperti halnya bila ia membaca buku atau
mendengar musik.
Dari fakta di atas, maka sudah sangat jelas bahwa solusi terhadap persoalan kekerasan dan tayangan media massa yang merusak moralitas anak membutuhkan perubahan sistem. Solusi tersebut adalah Islam yang diterapkan sebagai sistem kehidupan bernegara. Hal ini telah terbukti secara historis bahwa peradaban Islam mampu menjamin kesejahteraan dan kehormatan anak-anak generasi penerus peradaban Islam, sejak masa Rasulullah dilanjutkan oleh Khulafaur Rosyidin, Khilafah Umayyah, Abbasyiyah, dan yang terakhir Utsmaniyah selama kurang lebih 13 Abad lamanya. Di dalam Islam yang terwujud dalam bingkai Daulah Khilafah, sistem politik, ekonomi, hukum, dan sosial akan berpadu padan menjaga dan menjamin tumbuh kembangnya generasi yang kuat, unggul, berkualitas, produktif, dan bertaqwa. Hal ini menjadi tanggung jawab negara Khilafah yang notabene dikontrol langsung oleh Khalifah atau pemimpin. Maka, seluruh komponen umat Islam harusnya bahu membahu dalam mewujudkan negara Khilafah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar