JIKA mendengar kata “mahasiswa”, apa yang kira-kira kita bayangkan?
Intelektualitasnya kah? Atau semangat pergerakannya yang menggebu-gebu
kah? Atau sebuah identitas yang tanpa makna? Tak dipungkiri memang
selama beberapa tahun silam mahasiswa lah yang terbukti menjadi sebuah
penggerak revolusi perubahan, mungkin kalian masih ingat tentang
peristiwa Orde lama yang runtuh dengan dikeluarkannya Tritura (Tiga
Tuntutan Rakyat) yang diusung oleh para mahasiswa.
Tidak jauh berbeda dengan tumbangnya Orde baru pimpinan rezim Soeharto yang penuh dengan praktik KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) tidak luput dari peran mahasiswa dalam merubah keadaan yang tidak bersahabat dengan rakyat,sehingga memicu semangat dan idealisme mahasiswa untuk melakukan perubahan menuju penghidupan yang lebih baik.
Tidak salah akhirnya jika mhasiswa dikatakan sebagai Agent Of change atau agen pengubah peradaban. Jika perubahan diibaratkan sebagai kapal layar maka Mahasiswa adalah awak-awak kapal yang memegang kapal tersebut yang akhirnya memegang kendali atas seluruh penumpang didalamnya inipun yang terjadi pada sosok Napoleon Bonaparte yang hadir di tengah tengah masa revolusi Prancis.
Napoleon tak lebih dari seorang perwira muda yang usianya barulah menginjak usia dua puluh tahunan, namun namanya menjadi sosok yang mampu mengubah peradaban dunia.
Begitu pulalah perubahan yang terjadi pada masa Islam mewarnai dunia jahiliyah. Para pemudalah yang memegang peran penting dalam berjuang dengan rentang usia para sahabat antara 8 hingga 30 tahunan. Dengannya, Islam gemilang dalam memimpin peradaban di dunia. Maka tak heran ulama hadits yang bernama Ibnu al Jauzi pernah berkata, “wahai para pemuda, kerahkan potensi dirimu selagi masih muda karena belum pernah aku lihat karya yang paling berharga selain yang dilakukan oleh para generasi muda,” (Ibnu alJauzi, Shifatush Shofwah, Jil. IV, hlm. 24).
Sungguh luar biasa akhirnya memori otak kita pun kembali me-review perjuangan para pemuda di masa kegemilangan Islam, tentu kita mengenal sosok Mushab Bin Umair, Thariq Bin zaid, Ali Bin Abi Thalib, atau sosok panglima perang tersohor seperti Muhammad Al-Fatih yang pada usia 21 Tahun ia mampu menaklukan kota konstatinopel dengan Islam? Kota adidaya yang sangat disegani di seluruh penjuru dunia pada masa itu. Allahuakbar! Benar memang pemuda memegang peran vital dalam perubahan dunia.
Namun ironi saat ini, ahasiswa yang sejatinya adalah sebuah lokomotif pergerakan perubahan, kini hanya menjadi generasi pembebek tanpa sebuah idealisme hidup yang jelas. Banyak kita temui gelar mahasiswa yang hanya dijadikan sebuah identitas KTP belaka namun tak bermakna apa-apa. Menyedihkan. Bahkan predikat anarkis, hedonis, pragmatis, dan apatis acap kali mewarnai status mereka di tengah-tengah masyarakat saat ini.
Sekarang, mahasiswa sebagian besar hanya sibuk mengurusi dirinya sendiri, sibuk membeli gadget-gadget terbaru, sibuk hang out jalan-jalan kesana-kemari, sibuk mengejar nilai, hingga akhirnya Study Oriented, sibuk kongkow dengan aktivitas tanpa makna, dan segudang kesibukan. Hingga akhirnya lupa akan urusan yang sebenarnya, ya menjadi seorang agent of change yang mampu membawa angin perubahan di tengah-tengah sistem yang rusak seperti saat ini.
Perubahan di tangan kita, wahai Mahasiswa! Ali Bin Abi Thalib, dari Rasulullah SAW Bersabda, “Barang siapa yang harinya sama saja maka dia telah lalai, barang siapa yang hari ini lebih buruk dari kemarin maka dia terlaknat, barang siapa yang tidak mendapatkan tambahan maka dia dalam kerugian, barangsiapa yang dalam kerugian maka kematian lebih baik baginya.” Meskipun tingkatan hadits ini dhaif (lemah), namun kiranya ini bisa kita jadikan sebagai motivasi kita untuk berubah.
Sahabatku para mahasiswa Islam, tak inginkah kita menjadi sosok pemuda yang dirindui syurga? Seperti halnya Mushab bin Umair atau sosok gagah nan berani seperti Muhamad Al-Fatih yang ketika menginjak usia 21 tahun ia mampu mengubah tatanan kehidupan dunia Islam.
Cukuplah perkataan Imam Syafii rahimahullah mampu menampar kita dari buaian dunia ini, mampu membangungkan kita dari kelalaian dalam berjuang ini. “Sesungguhnya kehidupan pemuda itu, demi Allah hanya dengan ilmu dan Taqwa (memiliki ilmu dan bertaqwa), karena apabila yang dua hal itu tidak ada, maka ia tidak dianggap hadir (dalam kehidupan).” Wallahualam bi shawab.
Oleh: Indri Syahtiani, (Mahasiswi STKIP Siliwangi, Bandung)
Tidak jauh berbeda dengan tumbangnya Orde baru pimpinan rezim Soeharto yang penuh dengan praktik KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) tidak luput dari peran mahasiswa dalam merubah keadaan yang tidak bersahabat dengan rakyat,sehingga memicu semangat dan idealisme mahasiswa untuk melakukan perubahan menuju penghidupan yang lebih baik.
Tidak salah akhirnya jika mhasiswa dikatakan sebagai Agent Of change atau agen pengubah peradaban. Jika perubahan diibaratkan sebagai kapal layar maka Mahasiswa adalah awak-awak kapal yang memegang kapal tersebut yang akhirnya memegang kendali atas seluruh penumpang didalamnya inipun yang terjadi pada sosok Napoleon Bonaparte yang hadir di tengah tengah masa revolusi Prancis.
Napoleon tak lebih dari seorang perwira muda yang usianya barulah menginjak usia dua puluh tahunan, namun namanya menjadi sosok yang mampu mengubah peradaban dunia.
Begitu pulalah perubahan yang terjadi pada masa Islam mewarnai dunia jahiliyah. Para pemudalah yang memegang peran penting dalam berjuang dengan rentang usia para sahabat antara 8 hingga 30 tahunan. Dengannya, Islam gemilang dalam memimpin peradaban di dunia. Maka tak heran ulama hadits yang bernama Ibnu al Jauzi pernah berkata, “wahai para pemuda, kerahkan potensi dirimu selagi masih muda karena belum pernah aku lihat karya yang paling berharga selain yang dilakukan oleh para generasi muda,” (Ibnu alJauzi, Shifatush Shofwah, Jil. IV, hlm. 24).
Sungguh luar biasa akhirnya memori otak kita pun kembali me-review perjuangan para pemuda di masa kegemilangan Islam, tentu kita mengenal sosok Mushab Bin Umair, Thariq Bin zaid, Ali Bin Abi Thalib, atau sosok panglima perang tersohor seperti Muhammad Al-Fatih yang pada usia 21 Tahun ia mampu menaklukan kota konstatinopel dengan Islam? Kota adidaya yang sangat disegani di seluruh penjuru dunia pada masa itu. Allahuakbar! Benar memang pemuda memegang peran vital dalam perubahan dunia.
Namun ironi saat ini, ahasiswa yang sejatinya adalah sebuah lokomotif pergerakan perubahan, kini hanya menjadi generasi pembebek tanpa sebuah idealisme hidup yang jelas. Banyak kita temui gelar mahasiswa yang hanya dijadikan sebuah identitas KTP belaka namun tak bermakna apa-apa. Menyedihkan. Bahkan predikat anarkis, hedonis, pragmatis, dan apatis acap kali mewarnai status mereka di tengah-tengah masyarakat saat ini.
Sekarang, mahasiswa sebagian besar hanya sibuk mengurusi dirinya sendiri, sibuk membeli gadget-gadget terbaru, sibuk hang out jalan-jalan kesana-kemari, sibuk mengejar nilai, hingga akhirnya Study Oriented, sibuk kongkow dengan aktivitas tanpa makna, dan segudang kesibukan. Hingga akhirnya lupa akan urusan yang sebenarnya, ya menjadi seorang agent of change yang mampu membawa angin perubahan di tengah-tengah sistem yang rusak seperti saat ini.
Perubahan di tangan kita, wahai Mahasiswa! Ali Bin Abi Thalib, dari Rasulullah SAW Bersabda, “Barang siapa yang harinya sama saja maka dia telah lalai, barang siapa yang hari ini lebih buruk dari kemarin maka dia terlaknat, barang siapa yang tidak mendapatkan tambahan maka dia dalam kerugian, barangsiapa yang dalam kerugian maka kematian lebih baik baginya.” Meskipun tingkatan hadits ini dhaif (lemah), namun kiranya ini bisa kita jadikan sebagai motivasi kita untuk berubah.
Sahabatku para mahasiswa Islam, tak inginkah kita menjadi sosok pemuda yang dirindui syurga? Seperti halnya Mushab bin Umair atau sosok gagah nan berani seperti Muhamad Al-Fatih yang ketika menginjak usia 21 tahun ia mampu mengubah tatanan kehidupan dunia Islam.
Cukuplah perkataan Imam Syafii rahimahullah mampu menampar kita dari buaian dunia ini, mampu membangungkan kita dari kelalaian dalam berjuang ini. “Sesungguhnya kehidupan pemuda itu, demi Allah hanya dengan ilmu dan Taqwa (memiliki ilmu dan bertaqwa), karena apabila yang dua hal itu tidak ada, maka ia tidak dianggap hadir (dalam kehidupan).” Wallahualam bi shawab.
Oleh: Indri Syahtiani, (Mahasiswi STKIP Siliwangi, Bandung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar