Kamis, 17 September 2015

Indonesianisasi Ajaran Islam Kaburkan Makna Islam Rahmatan Lil ‘alamin

http://voa-islam.com/photos6/cyberjihad2015/Agama-Nusantara1.jpg

UMAT muslim di Indonesia kekinian dikejutkan oleh isu Islam Nusantara atau Islam Indonesia. Isu ini diungkapkan langsung dari orang nomor 1 di Indonesia, yaitu dalam acara pembukaan Istighasah dan Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdatul Ulama di Mesjid Istiqlal Jakarta (14/6), yang menyatakan keheranan perwakilan negara sahabat melihat kemajemukan rakyat Indonesia namun tetap bisa rukun. Tak luput juga disisipkan bahwa Islam Indonesia adalah Islam yang penuh sopan santun dan penuh toleransi. Jelas terlihat pendapat tersebut bernada membandingkan yang ditengarai muncul sebagai reaksi kontra terhadap konflik yang terjadi di Timur Tengah, sebagai daerah yang mayoritasnya beragama muslim.

Sebutan Islam Nusantara atau Islam Indonesia setidaknya memberikan kesan bahwa Islam memiliki banyak jenis dan macam. Dengan adanya sebutan-sebutan ini, muncul juga istilah yang mendikotomikan Islam dalam bagian-bagian, seperti Islam Radikal, Islam Fundamentalis, dan Islam Moderat. Padahal Islam hanya memiliki pencipta yang satu yaitu Allah SWT, satu pedoman yakni Rasulullah Muhammad, dan satu sumber hukum yakni Al-Quran dan As-Sunnah.

Allah berfirman, “Sesungguhnya umat [agama] kalian ini adalah umat [agama] yang satu. Aku adalah Tuhan kalian. Karena itu sembahlah Aku” (TQS al-Anbiya’ [21]: 92).

Bisa dibayangkan apabila terjadi perbedaan dalam menginterpretasi ajaran Islam. Yang terjadi ialah pengkotak-kotakan Islam yang akan memecah belah persatuan kaum muslim.

Bukan hanya mendikotomikan Islam saja, ide Islam Indonesia pun dianggap sebagai wujud kearifan lokal yang akan memunculkan Indonesianisasi ajaran Islam (baca : Islam ala Indonesia). Konsep Indonesianisasi ini sering dinisbatkan melalui tradisi Slametan, Kupatan, Sorban-an yang menjadi budayanya. Namun pada faktanya adalah konsep Islam yang pro pada budaya Nusantara hingga bersumber pada apa yang ada di Nusantara. Memakai koteka adalah hal yang boleh, memakai jilbab adalah hal yang tidak wajib karena jilbab adalah budaya arab bukan budaya Indonesia. Seperti itulah Islam Nusantara membuahkan pengaburan ajaran Islam sesungguhnya yang mengkulturasikan aturan Islam dengan kebiasaan dan kebudayaan.
 
Sesungguhnya Islam rahmatan lil ‘alamin memandang budaya secara profesional dengan memperbolehkannya selama tidak bertentangan dengan aturan Allah SWT. Seperti halnya memakai sarung merupakan budaya Indonesia karena sarung menutupi aurat (tidak bertentangan dengan aturan Islam) maka memakainya boleh, berbeda halnya dengan memakai koteka yang merupakan budaya Indonesia juga tetapi koteka ini bertentangan dengan ajaran islam sehingga tidak boleh. Jelaslah, Islam menerima budaya bukan karena alasan lahir dari kebiasaan masyarakat tetapi karena syariat memperbolehkannya. Sehingga alasan adanya berbagai Islam karena ajaran Islam di Indonesia berbeda dengan ajaran Islam di negara lainnya yang mengatasnamakan perbedaan budaya, bukanlah alasan yang dapat diterima.

Sebagai seorang muslim kita pun mengetahui bahwa nabi Muhammad saw, nabi terakhir yang diutus Allah untuk seluruh umatnya. Beliau adalah seorang Arab, namun beliau tidak dilahirkan untuk orang Arab saja melainkan untuk seluruh alam.

Allah berfirman, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. Al-Anbiyaa : 107).

Oleh karena itu, merupakan sebuah keniscayaan bahwa ajaran Islam tidaklah berbeda antara satu dengan yang lainnya. Adalah hal yang prinsip apabila mengaburkan aturan berkehidupan dalam ajaran Islam. Maka masih adakah alasan untuk mengaburkan ajaran Islam atas nama kebudayaan?
Wahai kaum muslim, mengaburkan ajaran Islam merupakan sebuah kemaksiatan. Karena itulah, sebuah kewajiban agung jika kita memperjuangkan Islam untuk menjadikannya paripurna di dunia ini. Hal itu hanya bisa terjadi dengan menyatukan Umat dalam sebuah naungan Khilafah Islamiyyah ala manhaj nubuwwah, sebuah negara pelindung aqidah kaum muslim.  

Wallahu’alam bi ash-shawa.

Oleh: Tia Miftahul Khoiriyah
Aktivis Kajian Islam Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar