Indonesia memang sudah 70 tahun merdeka dari penjajahan fisik (militer).
Namun, sejak merdeka tahun 1945 dari penjajahan fisik (militer) hingga
saat ini, sesungguhnya negeri ini masuk dalam perangkap penjajahan gaya
baru, yakni penjajahan non-fisik (non-militer). Artinya, hingga kini
Indonesia sesungguhnya masih terjajah dan belum sepenuhnya merdeka
secara hakiki.
Masih Terjajah
Penjajahan (imperialisme) adalah politik untuk menguasai wilayah lain
demi kepentingan pihak yang menguasai. Penjajahan gaya lama dilakukan
dengan kekuatan militer, mengambil-alih dan menduduki satu wilayah serta
membentuk pemerintahan kolonial di negara/wilayah jajahan. Namun, cara
ini secara umum sudah ditinggalkan karena membangkitkan perlawanan dari
penduduk wilayah yang dijajah, yang merasakan langsung penjajahan secara
nyata. Karena itu penjajahan akhirnya dilakukan dengan gaya baru yang
tak mudah dirasakan oleh pihak terjajah, yaitu melalui kontrol serta
menanamkan pengaruh ekonomi, politik, pemikiran, budaya, hukum dan
hankam atas wilayah yang dijajah. Namun, tujuan akhirnya sama, yaitu
mengalirkan kekayaan wilayah itu ke negara penjajah.
Indonesia adalah contoh nyata negeri yang masih terjajah. Dari sisi
pembuatan aturan dan kebijakan, banyak sekali UU di negeri ini yang
didektekan oleh pihak asing. Di antaranya melalui LoI dengan IMF. Banyak
utang—yang sesungguhnya menjadi alat penjajahan—dialirkan ke Indonesia
oleh berbagai lembaga donor baik IMF, Bank Dunia, ADB, Usaid dan
sebagainya. Perubahan konstitusi negeri ini pun tak lepas dari peran dan
campur tangan asing. Banyak dari UU itu disponsori bahkan draft
(rancangan)-nya dibuat oleh pihak asing, di antaranya melalui program
utang, bantuan teknis, dan lainnya.
Akibatnya, lahir banyak UU dan kebijakan Pemerintah yang bercorak
neoliberal, yang lebih menguntungkan asing dan swasta serta merugikan
rakyat banyak. UU bercorak liberal itu hakikatnya melegalkan penjajahan
baru (neoimperialisme) atas negeri ini. Karena itu meski sudah 70 tahun
“merdeka”, negeri ini masih banyak bergantung pada asing. Bahan pangan
baik makanan pokok, garam, gandum, kedelai, susu, dan lain-lain banyak
impor. Akibat ketergantungan itu, ditambah permainan para pelaku pasar
yang berwatak kapitalis, gejolak harga-harga menjadi fakta keseharian.
Melonjaknya harga daging sapi dan cabe saat ini adalah salah satunya.
Akibat UU dan kebijakan neoliberal, sumberdaya alam dan kekayaan negeri
ini lebih banyak dikuasai oleh swasta asing. Pengerukan kekayaan negeri
demi kemakmuran asing yang dijalankan oleh banyak perusahaan asing
pun—mirip zaman VOC dulu—terus berlangsung. Yang paling baru, PT
Freeport yang telah mengeruk kekayaan emas di bumi Papua baru saja
diberi perpanjangan ijin mengekspor konsentrat tembaga sebanyak 775 ribu
ton.
Di sisi lain, juga lahir banyak kebijakan neoliberal yang meminimalkan
peran negara dalam mengurus rakyat. Bahkan tanggung jawab negara
dialihkan ke pundak rakyat. Tanggung jawab pelayanan kesehatan rakyat,
misalnya, dialihkan dari negara ke pundak rakyat melalui asuransi sosial
kesehatan (BPJS).
Berbagai sektor juga diliberalisasi. Subsidi BBM dicabut sehingga
harganya sering naik. Subsidi listrik juga dicabut sehingga harganya pun
dibiarkan naik terus. Ongkos pendidikan mahal. Biaya produksi petani
terus naik. Pajak makin bertambah macamnya dan meningkat besarannya.
Masih banyak kebijakan neoliberal lainnya. Akibatnya, beban rakyat makin
berat. Semua itu hanyalah bukti nyata, kemerdekaan yang dirasakan oleh
penduduk negeri ini masih bersifat semu (palsu).
Kemerdekaan Hakiki
Kemerdekaan hakiki adalah saat manusia bebas dari segala bentuk
penjajahan, eksploitasi dan penghambaan kepada sesama manusia.
Mewujudkan kemerdekaan hakiki itu merupakan misi dari Islam. Islam
diturunkan oleh Allah SWT untuk menghilangkan segala bentuk penjajahan,
eksploitasi, penindasan, kezaliman dan penghambaan terhadap manusia oleh
manusia lainnya secara umum. Yunus bin Bukair ra. menuturkan bahwa
Rasulullah saw. pernah menulis surat kepada penduduk Najran, di antara
isinya:
… أَمّا بَعْدُ فَإِنّي أَدْعُوكُمْ إلَى عِبَادَةِ اللّهِ مِنْ عِبَادَةِ
الْعِبَادِ وَأَدْعُوكُمْ إلَى وِلاَيَةِ اللّهِ مِنْ وِلاَيَةِ الْعِبَادِ
…
Amma ba’du. Aku menyeru kalian ke penghambaan kepada Allah dari
penghambaan kepada hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian ke kekuasaan
(wilâyah) Allah dari kekuasaan hamba (manusia) … (Ibn Katsir, Al-Bidâyah
wa an-Nihâyah, v/553, Maktabah al-Ma’arif, Beirut).
Misi mewujudkan kemerdekaan hakiki untuk seluruh umat manusia itu juga
terungkap kuat dalam dialog Jenderal Rustum dengan Mughirah bin Syu’bah
yang diutus oleh Panglima Saad bin Abi Waqash. Pernyataan misi itu
diulang lagi dalam dialog Jenderal Rustum (Persia) dengan Rab’iy bin
‘Amir (utusan Panglima Saad bin Abi Waqash) yang diutus setelah Mughirah
bin Syu’bah pada Perang Qadisiyah untuk membebaskan Persia. Jenderal
Rustum bertanya kepada Rab’iy bin ‘Amir, “Apa yang kalian bawa?” Rab’iy
bin menjawab:
اَللهُ اِبْتَعَثْنَا وَاللهِ جَاءَ بِنَا لِنُخْرِجَ مَنْ شَاءَ مِنْ
عِبَادَةِ الْعِبَادِ إِلَى عِبَادَةِ اللهِ وَمِنْ ضَيْقِ الدُّنْيَا
إِلَى سَعَتِهَا وَمِنْ جَوْرِ اْلأَدْيَانِ إِلَى عَدْلِ اْلإِسْلاَمِ …
“Allah telah mengutus kami. Demi Allah, Allah telah mendatangkan kami
agar kami mengeluarkan siapa saja yang mau dari penghambaan kepada hamba
(manusia) menuju penghambaan hanya kepada Allah, dari kesempitan dunia
menuju kelapangannya dan dari kezaliman agama-agama (selain Islam)
menuju keadilan Islam….” (Ibnu Jarir ath-Thabari, Târîkh al-Umam wa
al-Muluk, ii/401, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut).
Di antara modus penghambaan kepada sesama manusia itu adalah melalui
aturan hukum dan perundang-undangan buatan manusia, sesuai doktrin
demokrasi. Apalagi aturan hukum dan perundang-undangan itu diimpor dari
pihak asing/penjajah, seperti yang terjadi pada banyak bangsa terjajah,
termasuk yang terjadi pada negeri ini.
Islam dengan inti ajarannya yaitu tauhid akan membebaskan manusia dari
penghambaan ala demokrasi ini. Pasalnya, dalam Islam penyerahan
kekuasaan membuat hukum (menentukan halal-haram) kepada manusia—sesuai
doktrin demokrasi—adalah satu bentuk syirik. Syirik seperti itulah yang
telah mengakar pada Bani Israel.
]اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ …[
Mereka menjadikan para pendeta dan para rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah… (TQS at-Taubah [9]: 31).
Makna ayat tersebut dijelaskan dalam riwayat dari jalur Adi bin Hatim
ra. Ia menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah membaca ayat tersebut
lalu bersabda:
« أَمَا إِنَّهُمْ لَمْ يَكُونُوا يَعْبُدُونَهُمْ وَلَكِنَّهُمْ كَانُوا
إِذَا أَحَلُّوا لَهُمْ شَيْئًا اسْتَحَلُّوهُ وَإِذَا حَرَّمُوا
عَلَيْهِمْ شَيْئًا حَرَّمُوهُ »
Mereka memang tidak menyembah para rahib dan pendeta mereka. Namun, jika
para rahib dan pendeta mereka menghalalkan untuk mereka sesuatu maka
mereka pun menghalalkannya, dan jika para rahib dan pendeta mereka
mengharamkan atas mereka sesuatu maka mereka pun mengharamkannya (HR
at-Tirmidzi).
Di sinilah Islam datang untuk membebaskan manusia dari segala bentuk
penghambaan kecuali penghambaan hanya kepada Allah SWT. Islam datang
untuk membebaskan manusia dari kesempitan dunia akibat penerapan aturan
buatan manusia menuju kelapangan dunia. Islam juga datang untuk
membebaskan manusia dari kezaliman agama-agama dan sistem-sistem selain
Islam menuju keadilan Islam. Hal itu diwujudkan oleh Islam dengan
membawa ajaran tauhid yang meniscayakan bahwa pengaturan kehidupan
manusia haruslah dengan hukum dan perundang-undangan yang bersumber dari
wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT, Zat Yang Maha Adil dan Maha
Bijaksana.
Semua itu akan menjadi nyata di tengah kehidupan dan bisa dirasakan oleh
masyarakat ketika ajaran tauhid, hukum dan perundang-undangan yang
dibawa oleh Islam itu diambil dan diterapkan untuk mengatur semua urusan
kehidupan. Tanpa itu maka kemerdekaan hakiki, kelapangan dunia dan
keadilan Islam itu tidak akan terwujud. Selama aturan, hukum dan sistem
buatan manusia yang bersumber dari akal dan hawa nafsunya terus
diterapkan dan dipertahankan maka selama itu pula akan terus terjadi
penjajahan, kesempitan dunia dan kezaliman. Allah SWT telah
memperingatkan hal itu dalam firman-Nya, QS Thaha [20] ayat 124.
Wahai Kaum Muslim:
WalLâh a’lam bi ash-shawâb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar