Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Memang umumnya yang diajarkan orang begitu, shalat di atas kendaraan
cuma dengan duduk di kursi, ruku dan sujud cuma dengan menganggukkan
kepala, bahkan tanpa wudhu atau menghadap kiblat.
Saya sendiri tidak tahu siapa yang pertama kali mengajarkan cara
shalat seperti itu. Kalau pendapat ulama, ulama yang mana? Kalau ada
petunjuknya di dalam kitab, kitab fiqih yang mana? Jangan-jangan kita
cuma taqlid kepada petunjuk yang tidak jelas asal-usulnya, tetapi
terlanjur dianggap 'agama' oleh orang awam.
Kalau pun mengutip ayat, cuma ayat tentang darurat atau Allah
menginginkan yang mudah bagimu dan tidak menginginkan yang susah. Jadi
kalau kita anggap susah, berarti Allah tidak ingin. Cuma begitu saja
logikanya, jelas sangat tidak logis dan main-main terhadap agama.
Kalau kita merujuk kepada ilmu fiqih yang sesungguhnya serta
mengikuti para ulama fiqih empat mazhab, rata-rata mereka membedakan
antara ketentuan shalat fardhu dengan shalat sunnah. Shalat fardhu itu
punya rukun yang tidak boleh ditinggalkan, seperti berdiri, ruku',
sujud, yang semua harus dilakukan dengan sempurna.
Sedangkan shalat sunnah, boleh tanpa berdiri, meski pun bukan karena
sakit. Rukuk dan sujudnya boleh cuma membungkukkan badan saja. Bahkan
seandainya tidak menghadap kiblat pun tidak mengapa.
Shalat
fardhu juga disyaratkan bagi pelakunya untuk sejak awal menghadap kiblat
tepat ke arah ka'bah. Selain itu juga sebelum shalat disyaratkan untuk
berwudhu, bagi yang berhadats.
Maka memang agak sulit untuk bisa
mengerjakan shalat fardhu di atas pesawat terbang. Bagaimana cara
berdirinya, bagaimana cara ruku'nya dan bagaimana pula cara sujudnya?
Dan bagaimana menghadap kiblatnya serta bagaimana wudhu'nya?
Maka
apabila semua itu sulit dilakukan, sebaiknya kita tidak melakukan
shalat fardhu di atas pesawat. Tetapi siasati saja waktunya sebisa
mungkin. Kalau masih bisa disiasati dengan menjamak shalat di bandara,
tentu lebih utama. Dan kita bisa menjamak shalat Dzhuhur dengan Ashar
atau Maghrib dengan Isya dilakukan pada satu waktu.
Pada
penerbangan dalam negeri yang durasinya cuma dua tiga jam, umumnya tidak
terlalu perlu untuk shalat fardhu di atas pesawat. Hal itu karena
umumnya shalat masih bisa diantisipasi dengan menjamaknya di darat.
Bahkan
saya pernah naik pesawat dari Jakarta ke Jeddah tanpa shalat di
pesawat. Hal itu karena shalat Dzhuhur dan Ashar masih bisa dikerjakan
ketika mendarat di Jeddah. Terbang dari Jakarta jam 10-an pagi dan
mendarat di Jeddah jam 5 sore waktu setempat. Masih bisa menjama' shalat
Dhuhur dengan Ashar di bandara Jeddah.
Saya juga pernah terbang
dari Tokyo ke Denpasar Bali tanpa harus shalat di pesawat. Sebab ketika
mendarat, masih belum Maghrib, sehingga bisa shalat Dzhuhur dan Ashar
jamak ta'khir.
Shalat Di Pesawat : Durasi Yang Lama dan Melewati Waktu Shalat Shubuh
Yang jadi masalah adalah shalat di pesawat berdurasi terbang yang
lama, hingga melewati beberapa waktu shalat sekaligus. Dan nyaris tidak
bisa disiasati dengan menjamak taqdim atau ta'khir.
Atau kita terbang malam dengan pesawat, yang mana mendaratnya pagi
hari selewat waktu shubuh. Shalat shubuh jelas tidak bisa dijamak. Dan
juga haram ditinggalkan dengan sengaja dengan niat qadha' selagi masih
memungkinkan shalat dengan benar.
Misalnya ketika saya terbang dari Jakarta ke Tokyo, terbangnya malam
hari dan mendarat jam delapan pagi waktu Tokyo. Jelas sekali saya harus
melewati waktu shubuh saat berada di ketinggian beberapa ribu kaki di
atas permukaan laut. Maka dalam keadaan itu, mau tidak mau saya harus
shalat di atas pesawat.
Tempat Shalat Dalam Pesawat
Masalah yang paling mendasar untuk shalat fardhu di dalam pesawat
adalah masalah tempat yang bisa untuk shalat dengan berdiri, ruku dan
sujud. Di dalam pesawat terbang komersial, memang nyaris tidak pernah
kita temukan mushalla atau tempat shalat secara khusus.
Tetapi shalat tidak harus dilakukan di mushalla atau tempat khusus.
Shalat boleh dilakukan dimana saja, asalkan kita bisa melakukan gerakan
shalat dengan sempurna. Maksudnya asal kita bisa berdiri, rukuk, sujud
dan sebagainya.
Dan sebenarnya, asalkan tidak sok gengsi atau sok jaim, pastinya selalu ada tempat yang agak luas untuk kita bisa melakukan shalat dengan sempurna dilengkapi ruku' dan sujud.
Dimanakah tempatnya?
Tempat itu tidak lain ruang kosong pada bagian pintu masuk atau
keluar. Tempat itu tidak pernah diisi dengan kursi, karena merupakan
jalan para penumpang masuk atau keluar ketika pesawat berada di darat.
Pada saat pesawat sedang terbang di angkasa, tentunya tempat itu
tidak berfungsi sebagai jalan keluar masuk. Di tempat itulah kita bisa
melakukan shalat dengan sempurna.
Kenapa bukan di jok pesawat saja, bukankah selama ini yang diajarkan adalah shalat sambil duduk di kursi?
Jawabnya, selagi masih memungkinkan untuk berdiri, ruku' dan sujud
yang benar, belum ada kebolehan shalat macam orang sakit, yang cuma
mengangguk-angguk saja. Dan kenyataannya, di pesawat itu ada banyak
tempat untuk melakukan shalat sambil berdiri, rukuk dan sujud.
Kalau masih ngotot mau shalat sambil duduk di kursi, sebenarnya cuma
karena tidak pernah diajarkan caranya, atau mungkin memang karena malas,
atau kurang tahu syarat dan rukun shalat, atau karena memang tidak mau
berkorban susah sedikit. Maunya yang gampang-gampang saja, sehingga
melakukan shalat 'jadi-jadian' seenaknya.
Dan keseringan cuma semata-mata karena rasa sungkan yang sama sekali
tidak jelas dasarnya. Aneh bin ajaib, ada orang tidak mau melaksanakan
rukun-rukun shalat yang menjadi penentu sah atau tidak sahnya shalat,
cuma dengan alasan sederhana : sungkan!!.
Jadi kalau mau shalat yang benar, sah, dan diterima Allah dengan
memenuhi syarat dan rukunnya, jangan shalat di kursi. Kursi itu hanya
untuk orang sakit yang memang total tidak bisa berdiri, rukuk dan
sujud.
Bukankah Nabi SAW Pernah Shalat di Punggung Unta?
Benar sekali, beliau diriwayatkan pernah shalat di atas punuk unta, tanpa berdiri, rukuk dan sujud. Haditsnya pun shahih.
Tetapi kalau kita agak teliti, ternyata haditsnya menyebutkan bahwa
shalat itu hanya shalat sunnah. Sedangkan untuk shalat fardhu, beliau
SAW turun dari untanya.
Untuk apa turun dari unta?
Biar beliau SAW bisa berdiri dengan sempurna, dan rukuk, sujud dengan
benar. Serta agar bisa menghadap kiblat dengan benar juga. Dan
keterangan itu terdapat dalam shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الرَّاحِلَةِ يُسَبِّحُ
يُومِئُ بِرَأْسِهِ قِبَلَ أَيِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ وَلَمْ يَكُنْ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي الصَّلَاةِ
الْمَكْتُوبَةِ
Aku melihat Rasulullah SAW di atas
hewan tunggangannya melakukan shalat sunnah dengan memberi isyarat
dengan kepala beliau kearah mana saja hewan tunggangannya menghadap. Rasulullah SAW tidak pernah melakukan seperti ini untuk shalat wajib”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
عَنْ جَابِرٍ كَانَ
رَسُول اللَّهِ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ فَإِذَا
أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَل فَاسْتَقْبَل الْقِبْلَةَ
Dari Jabir bin Abdillah
radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW shalat di atas kendaraannya,
menghadap kemana pun kendaraannya itu menghadap. Namun bila shalat yang fardhu, beliau turun dan shalat menghadap kiblat. (HR. Bukhari)
Maka
tidak sah hukumnya shalat fardhu di atas kendaraan, kecuali bila bisa
melakukan posisi berdiri, rukuk, sujud dengan sempurna.
Ketika Ja'far bin Abi Thalib memimpin rombongan yang hijrah ke
Habasyah, Rasulullah SAW mewanti-wanti untuk tetap mengerjakan shalat di
atas kapal laut dengan berdiri dan seterusnya.
أَنَّ النَّبِيَّ لَمَّا
بَعَثَ جَعْفَرَ بْنَ أَبِي طَالِبٍ ض إِلَى الْحَبَشَةِ أَمَرَهُ أَنْ
يُصَلِّيَ فِي السَّفِينَةِ قَائِمًا إِلاَّ أَنْ يَخَافَ الْغَرَقَ
Bahwa Nabi SAW ketika mengutus
Ja'far bin Abi Thalib radhiyallahuanhu ke Habasyah, memerintahkan untuk
shalat di atas kapal laut dengan berdiri, kecuali bila takut tenggelam. (HR. Al-Haitsami dan Al-Bazzar)
Bagaimana dengan arah kiblat?
Mudah saja. Di zaman maju sekarang ini, nyaris semua pesawat terbang
dilengkapi dengan Global Positioning System (GPS). Di beberapa pesawat
berbadan lebar, biasanya dipasang layar besar LCD di tengah kabin, dan
salah satunya menampilkan posisi pesawat di atas peta dunia.
Bahkan beberapa maskapai penerbangan yang baik menyediakan layar LCD
di kursi masing-masing dan salah satu fungsinya bisa sebagai GPS.
Asalkan kita tidak terlalu awam dengan peta dunia, maka dengan mudah
kita bisa menentukan mana arah kiblat kalau diukur dari posisi pesawat.
Maka ke arah sanalah kita menghadapkan badan saat berdiri melaksanakan
shalat.
Bagaimana dengan Waktu Shalat?
Waktu shalat di atas pesawat international memang agak rancu.
Mengingat kita tidak tahu di atas kota apa kita saat ini sedang terbang.
Bahkan mungkin malah bukan di atas kota, tetapi di atas laut, hutan,
pegunungan, padang pasir dan sejenisnya, dimana memang tidak pernah
dibuatkan jadwal waktu shalatnya.
Jadi kalau pun kita tahu kita berada di atas titik koordinat
tertentu, masih ada masalah besar yaitu tidak ada jadwal shalat untuk
titik koordinat tersebut.
Maka yang jadi pertanyaan, kapan kita mulai shalat?
Jawabannya sebenarnya sederhana. Di atas pesawat yang terbang tinggi
di langit itu kita justru dengan mudah bisa mengenali waktu shalat
dengan sederhana.
Untuk shalat Dzhuhur dan Ashar yang memang boleh dijama' itu, kita
bisa melihat ke luar jendela. Selama matahari sudah lewat dari atas
kepala kita dan belum tenggelam di ufuk barat, kita masih bisa menjama'
kedua shalat itu. Untuk yakinnya, mari kita jama' ta'khir saja.
Kenapa?
Karena jama' ta'khir itu kita lakukan di waktu Ashar dan waktu Ashar
bisa kita kenali dengan melihat ke luar jendela pesawat. Selama matahari
sudah condong ke arah Barat namun belum tenggelam, maka itulah waktu
Ashar.
Untuk shalat Maghrib dan Isya, agar kita tidak terlalu ragu,
sebaiknya kita shalat jama' ta'khir di waktu isya. Jadi setelah kita
menyaksikan matahari betul-betul tenggelam di ufuk barat, kita tunggu
kira-kira 1-2 jam. Saat itu kita amat yakin bahwa waktu Isya sudah
masuk. Maka kita shalat Maghrib dan Isya' dengan dijama' di waktu Isya'.
Bagaimana dengan shalat shubuh?
Shalat shubuh itu waktunya sejak terbit fajar hingga matahari terbit.
Dan kalau kita berada di angkasa, mudah sekali mengenalinya.
Cukup kita menengok keluar jendela, ketika gelap malam mulai hilang
dan langit menunjukkan tanda-tanda terang namun matahari belum terbit,
maka itulah waktu shubuh. Shalatlah shubuh pada waktu itu dan jangan
sampai terlanjur matahari menampakkan diri.
Jadi di atas pesawat yang terbang di angkasa, kita dengan mudah bisa
menetapkan waktu shalat, bahkan tanpa harus melihat jam atau bertanya
kepada awak pesawat.
Bagaimana Wudhu'nya?
Ini pertanyaan klasik tapi penting. Beberapa orang pernah berfatwa
bahwa di dalam pesawat sebaiknya tidak usah wudhu' dan sebagai gantinya
cukup bertayammum. Fatwa ini kelihatan bagus tetapi justru bermasalah
besar. Mengapa?
Ada dua masalah besar ketika orang mau tayammum di atas pesawat.
Pertama, di dalam Al-Quran Al-Kariem Allah SWT menegaskan bahwa
tayammum itu hanya boleh dikerjakan bila seseorang tidak menemukan air.
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى
أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ
لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا
طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَفُوًّا غَفُورًا
Dan jika kamu sakit atau sedang
dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah
menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik, sapulah mukamu dan tanganmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun. (QS. An-Nisa' : 43)
Padahal di atas pesawat itu air berlimpah, baik untuk minum, juga
untuk cuci muka bahkan untuk istinja'. Maka kebolehan tayammum menjadi
gugur dengan sendiri dengan masih adanya air di atas pesawat.
Kedua, di dalam Al-Quran Al-Kariem Allah SWT juga menegtaskan bahwa
bertayammum hanya dibolehkan menggunakan tanah yang bersih. Masalah
besarnya justru di atas pesawat itu malah tidak ada tanah. Jadi kalau
mau bertayammum di atas pesawat, mau tidak mau para penumpang harus
membawa bungkusan berisi tanah untuk dipakai tayammum.
Kalau semua penumpang membuka bungkusan berisi tanah di atas pesawat,
lalu salah satunya ada yang bersin, maka buyarlah tanah itu. Yang lain
akan tersenggol dan tanahnya tumpah. Dan akhirnya pesawat itu penuh
dengan tanah.
Bukankah tayammum bisa dengan menggunakan permukaan kursi?
Inilah masalahnya, perintah bertayammum di dalam Al-Quran itu adalah menggunakan tanah. Bunyi ayatnya fatayammamu sha'idan tayyiba, dan bukan fatayammamu kursiyyan thayyiba.
Sebab kursi di dalam pesawat udara itu jelas bukan tanah. Segala debu
dan kotoran tentunya sudah dibersihkan dengan vacum cleaner. Sehingga
kursi itu menjadi steril dari debu yang kelihatan. Kalau kursi pesawat
international berdebu, pastilah para penumpang langsung bersih-bersin
dan terkena radang saluran pernafasan (ISPA).
Kalau pun kita masih ngotot mengatakan bahwa di kursi pesawat itu
pasti masih tersisa debu, tentunya ada debu-debu ukuran mikroskopis,
yang hanya bisa dilihat kalau kita mengintip lewat mikroskop. Tetapi
perlu diingat bahwa debu atau molekul ukuran mikrospokis ini
sesungguhnya bukan hanya ada di kursi, tetapi di udara yang kita hirup
sekalipun juga ada.
Kalau debu ukuran mikroskopis itu bisa digunakan untuk bertayammum,
maka seharusnya kita bisa bertayammum cukup dengan menggeleng-gelengkan
kepala dan menggerak-gerakkan tangan saja, toh di udara sekitar wajah
dan tangan kita ada banyak debu mikroskopis.
Majelis Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama secara tegas menetapkan bahwa
bertayammum menggunakan kursi pesawat terbang itu hukumnya tidak sah,
karena tidak memenuhi ketentuan tayammum.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar