TERUNGKAPNYA Leopard Wisnu Kumala sebagai pelaku peledakan Mall Alam
Sutera, seharusnya tak perlu bikin ribet. Ini mungkin pertama kalinya,
seseorang beragama Katolik terbukti membuat, menyimpan dan merakit bahan
peledak serta menggunakannya untuk kegiatan terorisme dengan
meledakkan sebuah Mall di Tangerang.
Meski peledakan tidak 100% berhasil, namun sebagian dari bom telah meledak. Keterangan mantan Kadensus Tito Karnavian yang kini menjadi Kapolda Metro Jaya, yang mengatakan bahwa bom bikinan teroris Leopard adalah Bom paling berbahaya pertama yang ada di Indonesia, dan baru dua kali digunakan di dunia, jelas mengindikasikan bahwa Leopard adalah teroris paling membahayakan di Indonesia bahkan mungkin di dunia.
Hanya soal waktu, Leopard bisa saja melakukan perbuatan terorisme terbesarnya, mengalahkan kemampuan Noordin M. Top dan Azhari. Kenapa dapat mengalahkan kemampuan Noordin dan Azahari? Karena Leonard tanpa belajar dan tanpa berlatih di medan perang, ternyata dapat membuat bom paling berbahaya di dunia. Hanya belajar dari Youtube, seorang Leopard sudah berhasil merakit bom high explosive (berdaya ledak tinggi) padahal dia disebut polisi bekerja tanpa jaringan dan tanpa ada yang melatihnya.
Jika tindakan Leopard tidak disebut teroris, maka jargon pemberantasan terorisme di Indonesia tanpa pilih kasih, boleh disebut omong kosong. Selama ini, banyak pelaku (baca: terduga) yang tidak pernah menyentuh bahan peledak, bahkan hanya diajak rapat kegiatan teror oleh orang yang tidak dikenal saja, sudah masuk dalam jerat terorisme.
Selama ini pula, banyak anak-anak muda yang hanya disebut sebagai “ada kaitan dengan pelaku sebelumnya” tidak pandang bulu dihabisi dan distop sejarahnya. Tetapi untuk Leopard yang sudah terbukti meledakkan Mall, ternyata tidak dilabeli apapun terkait terorisme.
Apakah karena Leopard belum punya jaringan? Jika demikian, maka isi UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, jika perlu diubah untuk mengakomodasi pentingnya tindakan seperti Leopard ini agar tidak akan menjadi jaringan yang lebih besar. Namun jika menyoal jaringan, tampaknya juga kurang lazim.
Dalam istilah-istilah terorisme, biasanya ada istilah sel tidur, sel ngantuk, dan sel-sel lain yang menggambarkan bahwa teroris itu tidak harus jaringan besar. Namun terorisme dapat dimulai dari bibit atau sel yang belum terlihat bentuknya.
Seperti diketahui, hingga saat ini polisi masih ngotot bahwa Leopard melakukan tindakan sendirian dalam melakukan persiapan hingga peledakan di Mall Alam Sutera. Hal itu berdasar pengakuan pelaku. Jika benar ini hanya dilakukan oleh pelaku tunggal, maka jelas ini menjadi PR (Pekerjaan Rumah) polisi.
Leopard yang tak pernah terjun di medan jihad, tak memiliki ideologi perang, tak mengatasnamakan agamanya yang Katolik, ternyata hasil terornya melebihi orang-orang yang selama ini disebut-sebut punya kemampuan perang di wilayah konflik, punya ideologi kekerasan, dan memiliki jaringan teroris internasional.
Dengan fakta di atas, sudah semestinya Polisi tak perlu malu lagi menyebut Leopard sebagai teroris. Atau jika masih malu menggunakan istilah teroris, setidaknya polisi melabeli Leopard sebagai terduga teroris.
Sebaliknya, Polisi juga tidak perlu terburu-buru menyatakan bahwa Leopard bukan teroris. Kesimpulan Polisi bahwa Leopard bukan teroris karena meledakkan bom atas motif ekonomi, mestinya digali lebih jauh. Polisi tidak boleh mudah percaya pengakuan pelaku.
Ada beberapa kejanggalan Leopard, yang harus diuji alibinya. Karena dalam peristiwa peledakan Mall Alam Sutera, rasanya tidak sepenuhnya masuk akal. Seorang ahli IT dan menguasai banyak program IT, bagaimana mungkin membiarkan dirinya beraksi di depan CCTV. Karena jika benar dia sadar telah melakukan tindak terorisme di depan kamera CCTV, berarti dia sendiri telah memberikan jalan melalui alat itu, sebagai penuntun Polisi menemukan dirinya. Jika benar dia seorang ahli IT dan memang punya keahlian merakit Bom Paling Berbahaya di dunia, tidak mungkin dirinya beraksi di banyak moncong CCTV.
Kemungkinan paling masuk akal bagi Leopard bisa melakukan tindak terorisme di depan kamera CCTV, karena dia melakukan kejahatannya atas panduan dan jaminan orang lain yang bisa meyakinkan Leopard untuk berbuat secara aman.
Orang lain inilah yang mungkin memandu Leopard untuk menemukan ide, memandu Leopard berbelanja bahan/materi, menjadi instruktur Leopard dalam merakit dan meledakkan bom, bahkan sangat memungkinkan orang lain itulah yang berani menjamin (baca: menipu) Leopard aman keluar masuk Mall. Salah satu bentuk jaminan keamanan memasuki Mall adalah, orang lain tersebut bisa meyakinkan Leopard bahwa CCTV Mall dijamin tidak aktif selama Leonard beraksi.
Pertanyaannya: Siapa orang lain tersebut? Pasti sangat kecil kemungkinan terungkap sosoknya. Karena kalau sampai ada orang lain yang disebut terlibat dalam tindakannya, Leopard bisa disebut sebagai bagian dari jaringan terorisme.
Leopard akan memilih bungkam dan lebih aman mengaku sebagai pelaku tunggal, agar tindakannya tidak masuk dalam radar terorisme. Atau lebih tepatnya, Leonard kemungkinan disuruh oleh pihak lain agar mengaku sebagai pelaku tunggal, demi menghindari stigma teroris atas dirinya.
Kenapa? Ya karena teroris yang dikenal selama ini tidak pernah memiliki ciri seperti Leopard. Tidak pernah ada teroris beragama Katolik, tidak ada pernah teroris berkulit putih, apalagi bermata sipit.
Melalui media massa, biasanya teroris digambarkan beragama Islam, lulusan pesantren, rajin shalat, hafal Qur’an dan punya kaitan dengan organisasi teroris internasional. Ada baku tembak, ada bendera ISIS, ada rompi, punya serbuk mulai dari serbuk mesiu sampai serbuk susu, hingga punya potongan kabel dan kawat. Bahkan kalau perlu jemuran pun dianggap sebagai bagian dari unsur terorisme karena pernah dipakai untuk menjemur baju pelaku. Nah, sepertinya, sosok Leopard berbeda.
Oleh: Musthofa Nahrawardaya
Koordinator Indonesia Crime Analyst Forum
Meski peledakan tidak 100% berhasil, namun sebagian dari bom telah meledak. Keterangan mantan Kadensus Tito Karnavian yang kini menjadi Kapolda Metro Jaya, yang mengatakan bahwa bom bikinan teroris Leopard adalah Bom paling berbahaya pertama yang ada di Indonesia, dan baru dua kali digunakan di dunia, jelas mengindikasikan bahwa Leopard adalah teroris paling membahayakan di Indonesia bahkan mungkin di dunia.
Hanya soal waktu, Leopard bisa saja melakukan perbuatan terorisme terbesarnya, mengalahkan kemampuan Noordin M. Top dan Azhari. Kenapa dapat mengalahkan kemampuan Noordin dan Azahari? Karena Leonard tanpa belajar dan tanpa berlatih di medan perang, ternyata dapat membuat bom paling berbahaya di dunia. Hanya belajar dari Youtube, seorang Leopard sudah berhasil merakit bom high explosive (berdaya ledak tinggi) padahal dia disebut polisi bekerja tanpa jaringan dan tanpa ada yang melatihnya.
Jika tindakan Leopard tidak disebut teroris, maka jargon pemberantasan terorisme di Indonesia tanpa pilih kasih, boleh disebut omong kosong. Selama ini, banyak pelaku (baca: terduga) yang tidak pernah menyentuh bahan peledak, bahkan hanya diajak rapat kegiatan teror oleh orang yang tidak dikenal saja, sudah masuk dalam jerat terorisme.
Selama ini pula, banyak anak-anak muda yang hanya disebut sebagai “ada kaitan dengan pelaku sebelumnya” tidak pandang bulu dihabisi dan distop sejarahnya. Tetapi untuk Leopard yang sudah terbukti meledakkan Mall, ternyata tidak dilabeli apapun terkait terorisme.
Apakah karena Leopard belum punya jaringan? Jika demikian, maka isi UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, jika perlu diubah untuk mengakomodasi pentingnya tindakan seperti Leopard ini agar tidak akan menjadi jaringan yang lebih besar. Namun jika menyoal jaringan, tampaknya juga kurang lazim.
Dalam istilah-istilah terorisme, biasanya ada istilah sel tidur, sel ngantuk, dan sel-sel lain yang menggambarkan bahwa teroris itu tidak harus jaringan besar. Namun terorisme dapat dimulai dari bibit atau sel yang belum terlihat bentuknya.
Seperti diketahui, hingga saat ini polisi masih ngotot bahwa Leopard melakukan tindakan sendirian dalam melakukan persiapan hingga peledakan di Mall Alam Sutera. Hal itu berdasar pengakuan pelaku. Jika benar ini hanya dilakukan oleh pelaku tunggal, maka jelas ini menjadi PR (Pekerjaan Rumah) polisi.
Leopard yang tak pernah terjun di medan jihad, tak memiliki ideologi perang, tak mengatasnamakan agamanya yang Katolik, ternyata hasil terornya melebihi orang-orang yang selama ini disebut-sebut punya kemampuan perang di wilayah konflik, punya ideologi kekerasan, dan memiliki jaringan teroris internasional.
Dengan fakta di atas, sudah semestinya Polisi tak perlu malu lagi menyebut Leopard sebagai teroris. Atau jika masih malu menggunakan istilah teroris, setidaknya polisi melabeli Leopard sebagai terduga teroris.
Sebaliknya, Polisi juga tidak perlu terburu-buru menyatakan bahwa Leopard bukan teroris. Kesimpulan Polisi bahwa Leopard bukan teroris karena meledakkan bom atas motif ekonomi, mestinya digali lebih jauh. Polisi tidak boleh mudah percaya pengakuan pelaku.
Ada beberapa kejanggalan Leopard, yang harus diuji alibinya. Karena dalam peristiwa peledakan Mall Alam Sutera, rasanya tidak sepenuhnya masuk akal. Seorang ahli IT dan menguasai banyak program IT, bagaimana mungkin membiarkan dirinya beraksi di depan CCTV. Karena jika benar dia sadar telah melakukan tindak terorisme di depan kamera CCTV, berarti dia sendiri telah memberikan jalan melalui alat itu, sebagai penuntun Polisi menemukan dirinya. Jika benar dia seorang ahli IT dan memang punya keahlian merakit Bom Paling Berbahaya di dunia, tidak mungkin dirinya beraksi di banyak moncong CCTV.
Kemungkinan paling masuk akal bagi Leopard bisa melakukan tindak terorisme di depan kamera CCTV, karena dia melakukan kejahatannya atas panduan dan jaminan orang lain yang bisa meyakinkan Leopard untuk berbuat secara aman.
Orang lain inilah yang mungkin memandu Leopard untuk menemukan ide, memandu Leopard berbelanja bahan/materi, menjadi instruktur Leopard dalam merakit dan meledakkan bom, bahkan sangat memungkinkan orang lain itulah yang berani menjamin (baca: menipu) Leopard aman keluar masuk Mall. Salah satu bentuk jaminan keamanan memasuki Mall adalah, orang lain tersebut bisa meyakinkan Leopard bahwa CCTV Mall dijamin tidak aktif selama Leonard beraksi.
Pertanyaannya: Siapa orang lain tersebut? Pasti sangat kecil kemungkinan terungkap sosoknya. Karena kalau sampai ada orang lain yang disebut terlibat dalam tindakannya, Leopard bisa disebut sebagai bagian dari jaringan terorisme.
Leopard akan memilih bungkam dan lebih aman mengaku sebagai pelaku tunggal, agar tindakannya tidak masuk dalam radar terorisme. Atau lebih tepatnya, Leonard kemungkinan disuruh oleh pihak lain agar mengaku sebagai pelaku tunggal, demi menghindari stigma teroris atas dirinya.
Kenapa? Ya karena teroris yang dikenal selama ini tidak pernah memiliki ciri seperti Leopard. Tidak pernah ada teroris beragama Katolik, tidak ada pernah teroris berkulit putih, apalagi bermata sipit.
Melalui media massa, biasanya teroris digambarkan beragama Islam, lulusan pesantren, rajin shalat, hafal Qur’an dan punya kaitan dengan organisasi teroris internasional. Ada baku tembak, ada bendera ISIS, ada rompi, punya serbuk mulai dari serbuk mesiu sampai serbuk susu, hingga punya potongan kabel dan kawat. Bahkan kalau perlu jemuran pun dianggap sebagai bagian dari unsur terorisme karena pernah dipakai untuk menjemur baju pelaku. Nah, sepertinya, sosok Leopard berbeda.
Oleh: Musthofa Nahrawardaya
Koordinator Indonesia Crime Analyst Forum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar