Jakarta. Anggota DPR RI Tjatur Sapto Edy
mengungkapkan dirinya pernah dicoba untuk disuap ketika vokal agar
Freeport diaudit. “Saya sendiri pernah ditawari 2,5 juta US Dollar oleh
teman yang punya afiliasi ke Freeport,” ungkapnya dalam acara Buka Puasa
Bersama DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jum’at (10/7) di Kantor DPP
HTI, Crown Palace, Jakarta Selatan.
Percobaan penyuapan tersebut dilakukan Freeport saat Tjatur menjadi anggota panitia kerja (Panja) Freeport Komisi VII di 2008. Saat itu, Tjatur vokal meminta agar Freeport diaudit pemerintah. Pasalnya, seperti pengakuan Menteri ESDM saat itu Purnomo Yusgiantoro kepada Tjatur, pemerintah hanya menerima laporan Freeport saja tidak pernah mengawasi secara langsung.
“Satu-satunya pengawas adalah Sucofindo yang dihayer (dibayar, red) Freeport sendiri,” ungkapnya dihadapan Dewan Pimpinan Pusat HTI.
Tjatur merekomendasikan agar Freeport diaudit total lantaran yang dilaporkan Freeport hanyalah penambangan emas, perak dan tembaga dengan royalti dipatok sekitar satu persen. Namun perdasarkan investigasi yang dilakukan Tjatur dengan mengambil beberapa sample konsentrat tanpa sepengetahuan pihak Freeport, dapat dipastikan Freeport menyelundupkan 12 mineral berharga lainnya.
“Saya pernah ‘mencuri’ dan dibawa ke ITB ternyata ada 15 mineral, ada uranium sedikit dan radio aktif lain,” beber Tjatur.
Maka, DPR pun memanggil pemilik Freeport James Muffet dari Amerika hingga dua kali. Seperti yang Tjatur duga Muffet tidak datang. Tetapi yang menarik, menurut Tjatur, sejak saat itu seluruh direksi Freeport Indonesia dicopot. “Karena sebelumnya tidak pernah ada pemanggilan oleh DPR,” ujarnya.
Menurutnya, itulah latar belakang lahirnya Pasal 171 Undang-Undang No 24 Tahun 2009 yang mengharuskan semua pertambangan memiliki smelter. “Kalau konsentrat diolah di Indonesia kita jadi tahu kandungannya,” ungkap Tjatur.
Berdasarkan UU tersebut, para penambang diberi waktu hingga Januari 2014 agar memiliki smelter. Namun Freeport tidak mau menggubris. Maka setelah waktunya habis, selama 2014 konsentrat menumpuk di gudang. Barulah setelah pemerintahan Jokowi-JK, Freeport diberi kebebasan untuk mengekspor konsentrat tersebut tanpa harus diolah di Indonesia.
Namun sayang, lanjut Tjatur, kebijakan pemerintah yang melanggar UU 24 Tahun 2009 tersebut tidak mendapatkan reaksi yang berarti dari Komisi VII hasil pemilu 2014 ini. “Komisi VII-nya saya tidak tahu, apakah sudah lembek atau dilembekkan,” pungkasnya.[] Joko Prasetyo
Percobaan penyuapan tersebut dilakukan Freeport saat Tjatur menjadi anggota panitia kerja (Panja) Freeport Komisi VII di 2008. Saat itu, Tjatur vokal meminta agar Freeport diaudit pemerintah. Pasalnya, seperti pengakuan Menteri ESDM saat itu Purnomo Yusgiantoro kepada Tjatur, pemerintah hanya menerima laporan Freeport saja tidak pernah mengawasi secara langsung.
“Satu-satunya pengawas adalah Sucofindo yang dihayer (dibayar, red) Freeport sendiri,” ungkapnya dihadapan Dewan Pimpinan Pusat HTI.
Tjatur merekomendasikan agar Freeport diaudit total lantaran yang dilaporkan Freeport hanyalah penambangan emas, perak dan tembaga dengan royalti dipatok sekitar satu persen. Namun perdasarkan investigasi yang dilakukan Tjatur dengan mengambil beberapa sample konsentrat tanpa sepengetahuan pihak Freeport, dapat dipastikan Freeport menyelundupkan 12 mineral berharga lainnya.
“Saya pernah ‘mencuri’ dan dibawa ke ITB ternyata ada 15 mineral, ada uranium sedikit dan radio aktif lain,” beber Tjatur.
Maka, DPR pun memanggil pemilik Freeport James Muffet dari Amerika hingga dua kali. Seperti yang Tjatur duga Muffet tidak datang. Tetapi yang menarik, menurut Tjatur, sejak saat itu seluruh direksi Freeport Indonesia dicopot. “Karena sebelumnya tidak pernah ada pemanggilan oleh DPR,” ujarnya.
Menurutnya, itulah latar belakang lahirnya Pasal 171 Undang-Undang No 24 Tahun 2009 yang mengharuskan semua pertambangan memiliki smelter. “Kalau konsentrat diolah di Indonesia kita jadi tahu kandungannya,” ungkap Tjatur.
Berdasarkan UU tersebut, para penambang diberi waktu hingga Januari 2014 agar memiliki smelter. Namun Freeport tidak mau menggubris. Maka setelah waktunya habis, selama 2014 konsentrat menumpuk di gudang. Barulah setelah pemerintahan Jokowi-JK, Freeport diberi kebebasan untuk mengekspor konsentrat tersebut tanpa harus diolah di Indonesia.
Namun sayang, lanjut Tjatur, kebijakan pemerintah yang melanggar UU 24 Tahun 2009 tersebut tidak mendapatkan reaksi yang berarti dari Komisi VII hasil pemilu 2014 ini. “Komisi VII-nya saya tidak tahu, apakah sudah lembek atau dilembekkan,” pungkasnya.[] Joko Prasetyo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar