Oleh : Achmad Fauzi Z
Permasalahan hubungan Agama dan Negara masih menjadi wacana perdebatan tidak ada habisnya. Apakah agama menjadi wilayah yang harus diatur oleh negara atau agama adalah wilayah individu yang mana pemerintah /negara tidak boleh turut campur didalamnya. Diantara persoalan itu adalah tidak adanya konsep yang baku cara bernegara dalam agama-agama, termasuk Islam. Yang lainnya adalah telah terbentuknya pencitraan buruk di tengah-tengah masyarakat akan kekerasan yang dilakukan oleh agama ketika berkuasa. Ataupun agama hanya sebagai alat legitimasi kekuasaan Negara untuk dimanfaatkan bagi berbagai kepentingan.
Tidak terkecuali dengan negara Indonesia, dinegeri inipun tidak terlepas dari wacana pertarungan pemikiran masalah ini. Kita ambil contoh perdebatan antara Muhammad Natsir dan Soekarno mengenai masalah hubungan antara agama dan negara.
Muhammad Natsir banyak menulis terkait masalah ini pada majalah Panji Islam dan Al Mannar. Perdebatan muncul ketika Soekarno menulis artikel berjudul “Apa Sebab Turki Memisahkan Antara Agama dan Negara”, Dalam tulisannya, Bung Karno menyebut sekularisasi yang dijalankan Kemal Attaturk di Turki yakni pemisahan agama dari negara sebagai langkah ”paling modern” dan ”paling radikal”. Kata Bung Karno: ”Agama dijadikan urusan perorangan. Bukan Islam itu dihapuskan oleh Turki, tetapi Islam itu diserahkan kepada manusia-manusia Turki sendiri, dan tidak kepada negara. Maka oleh karena itu, salahlah kita kalau mengatakan bahwa Turki adalah anti-agama, anti-Islam. Salahlah kita, kalau kita samakan Turki itu dengan, misalnya, Rusia“. Menurut Soekarno, apa yang dilakukan Turki sama dengan yang dilakukan negara- negara Barat. Di negara-negara Barat, urusan agama diserahkan kepada individu pemeluknya, agama menjadi urusan pribadi, dan tidak dijadikan sebagai urusan negara. Jadi kesimpulan Soekarno, buat keselamatan dunia dan buat kesuburan agama bukan untuk mematikan agama itu,urusan dunia diberikan kepada pemerintah, dan urusan agama diberikan kepada yang mengerjakan agama.
Natsir mengkritik keras pandangan Soekarno tentang pemisahan agama dengan negara. Natsir meyakini perlunya membangun negara yang diinspirasikan oleh nilai- nilai Islam. Orang Islam, kata Natsir, mempunyai falsafah hidup dan idiologi sebagaimana agama atau paham yang lain, dan falsafah serta idieologi itu dapat disimpulkan dalam satu kalimat al-Qur’an :
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS Addzaryiat : 56)
Oleh karena itu segala aktivitas muslim untuk berbangsa dan bernegara harus ditujukan untuk pengabdian kepada Allah. Yang tentunya berbeda dengan tujuan mereka yang berpaham netral agama. Untuk itu, Tuhan memberi berbagai macam aturan mengenai hubungan dengan Tuhan dan aturan menegenai hubungan di antara sesama makhluk yang berupa kaidah-kaidah yang berkenaan dengan hak dan kewajiban. Itulah sebenarnya yang oleh orang sekarang disebut “urusan kenegaraan”. Yang orang sering lupa ialah bahwa pengertian “agama” menurut Islam bukanlah hanya urusan “ibadat” saja, melainkan meliputi semua kaidah dan hudud dalam muamalah dalam masyarakat. Dan semuanya sudah tercantum dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Untuk menjaga agar segala peraturan itu dilaksanakan dengan baik, diperlukan suatu kekuatan dalam pergaulan hidup berupa kekuasaan dalam negara, karena sebagaimana buku undang-undang yang lain, Al-Qur’an pun tak dapat berbuat apapun dengan sendirinya.
Sebagai contoh, Islam mewajibkan agar orang Islam membayar zakat sebagaimana mestinya. Bagaimana undang-undang kemasyarakatan ini mungkin berlaku dengan beres, kalau tidak ada pemerintah yang mengawasi berlakunya? Islam melarang zina, judi, minum arak yang merupakan penyakit masyarakat yang menggerokoti sendi-sendi pergaulan hidup. Bagaimana larangan itu dapat dilaksanakan kalau negara bersikap “masa bodoh” saja dengan alasan “negara netral agama”?.
Ringkasnya, kata Natsir, “Bagi kita kaum Muslimin, “Negara” bukanlah suatu badan yang tersendiri yang menjadi tujuan. Dan dengan “Persatuan Agama dan Negara” kita maksudkan, bukanlah bahwa “Agama” itu cukup sekedar dimasuk-masukkan saja disana sini kepada “Negara” itu. Bukan begitu! Negara, bagi kita, bukan tujuan, tetapi alat. Urusan kenegaraan pada pokoknya dan pada dasarnya adalah suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan, satu “intergreered deel” dari Islam”.
Yang menjadi tujuan ialah
Kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan dengan perikehidupan manusia sendiri (sebagai individu), ataupun sebagai anggota dari masyarakat. Baik yang berkenaan dengan kehidupan dunia yang fana ini, ataupun yang berhubungan kehidupan akhiran kelak.
Selanjutnya, Natsir mengutarakan bahwa seringkali orang mempunyai logika : “Dahulu di Turki ada persatuan agama dengan negara. Buktinya ada Khalifah yang katanya juga menjadi Amirul Mukminan. Akan tetapi waktu itu Turki negeri yang mundur, tidak modern, negeri “sakit”, negeri “bobrok”. Sekarang di Turki, Agama sudah dipisahkan dari negara. Lihat, bagaimana majunya, bagaimana modernnya. Politik Kemal dkk berarti betul”.
Ketidakfahaman terhadap negara dalam Islam, negara yang menyatukan agama dan politik, pada dasarnya bersumber dari kekeliruan memahami gambaran pemerintahan Islam.
“Kalau kita terangkan, bahwa agama dan negara harus bersatu, maka terbayang sudah di mata seorang bahlul (Bodoh) duduk di atas singgahsana, dikelilingi oleh “haremnya” menonton tari “dayang-dayang”. Terbayang olehnya yang duduk mengepalai “kementerian kerajaan”, beberapa orang tua bangka memegang hoga. Sebab memang beginilah gambaran pemerintahan Islam yang digambarkan dalam kitab-kitab Eropa yang mereka baca dan diterangkan oleh guru-guru bangsa barat selama ini. Sebab umumnya (kecuali amat sedikit) bagi orang Eropa: Chalifah = Harem; Islam = poligami”.
Natsir berkata bahwa bila ingin memahami agama dan negara dalam Islam secara jernih, hendaknya kita mampu menghapuskan gambaran keliru tentang negara Islam di atas. Secara implisit Natsir menilai bahwa gambaran “negara Islam” seperti inilah yang terdapat dalam pandangan Soekarno maupun Kemal.
Adapun tanggapan Natsir terhadap pandangan Syaikh Ali Abdur Raziq yang dikutip Soekarno bahwa Nabi hanyalah mendirikan agama saja dan tidak mendirikan negara adalah bahwa eksistensi negara merupakan suatu keharusan di dunia ini, di zaman apa pun.
“Memang negara tidak perlu disuruh didirikan oleh Rasulullah lagi. Dengan atau tidak dengan Islam, negara memang bisa berdiri dan memang sudah berdiri sebelum dan sesudah Islam, di mana saja ada segolongan manusia yang hidup bersama-sama dalam satu masyarakat”.
Hanyalah yang dibawa oleh nabi Muhammad saw ialah beberapa patokan untuk mengatur negara, supaya negara itu menjadi kuat dan subur, dan boleh menjadi wasilah (sarana) yang sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan hidup manusia yang berhimpun dalam negara itu, untuk keselamatan diri dan masyakat, untuk kesentosaan perseoarngan dan umum. Dalam pada itu, apakah yang menjdi kepala pemerintahan itu memakai titel Khalifah atau tidak, bukanlah urusan yang utama. Asal saja yang diberi kekuasaan itu sebagai ulil-amri kaum muslimin, sanggup bertindak dan peraturan-peraturan Islam berjalan dengan semestinya dalam susunan kenegaraan, baik dalam kaedah maupun praktek.
Mahmud Essad Bey, menurut Ir. Soekarno pernah berkata bahwa
“Apabila agama dipakai buat memerintah, ia selalu dipakai sebagai alat penghukum ditangan raja-raja, orang zalim dan orang-orang tangan besi”. M Natsir mengatakan, “Seseorang yang melemparkan tuduhan yang begitu berat, sekurang-kurangnya mempunyai kewajiban untuk mennunjkkan bukti. Manakah dari ajaran-ajaran Islam yang mungkin dipakai menjadi alat oleh orang-orang yang zalim.”
Tetapi kalau dikatakan bahwa orang yang zalim dan jahat seringkali memakai agama sebagai kedok, itu memang tak usah dibantah lagi. Orang yang memang sudah bersifat jahat dan zalim, apa saja yang mungkin dijadikanya kedok untuk menyembunyikan kezalimannya, tentu digunakannya. Hal ini berlaku baik di timur maupun barat, agama Islam, Kristen, Budha dan bisa juga apa yang dinamakan orang demokrasi, aristokrasi historical materialisme Karl Marx dll.
Selanjutnya Ir. Soekarno dalam tulisannya ”Apa Sebab Turki memisahkan Agama dengan Negara” mengemukakan alasan untuk membela pemimpin Turki Muda, antara lain:
“Disuatu negara demokrasi, yang ada dewan perwakilan rakyatnya, yang sebenarnya mewakili Rakyat, dapat ‘dimasukkan’ segala macam keagamaannya dalam tiap-tiap tindakan negara dan kedalam tiap-tiap wet yang dipakai di dalam negara itu walaupun disitu agama dipisahkan dari negara, asal sebagian besar dari anggota-anggota parlemen politiknya politik agama, maka semua putusan-putusan perlemen itu dengan sendirinya akan berisi fatwa-fatwa agama pula. Asal sebagian besar dari anggota-anggota parlemen itu politiknya politik Islam, maka tidak akan berjalanlah satu produk yang tidak bersifat Islam”.
Natsir menanggapi dengan mengatakan, kalau kebetulan sebagian besar dari anggota parlemen isu islamnya seperti islamnya Kemal Pasya, yakni yang tidak menghiraukan peraturan-peratuan agama sepeserpun. Apakah yang akan terjadi? Dan bagaimana pula kalau sebagian besar, atau 100% dari anggota-anggota parlemen itu politiknya bukan politik Islam walaupun bibirnya mengatakan bahwa mereka ‘beragama’ juga, apakah yang akan terjadi?.
Mungkin ada orang akan berkata: “Bukankah Islam itu bersifat demokratis?”. Natsir mengatakan bahwa Islam memang bersifat ”demokratis” dengan arti bahwa Islam itu anti absolutisme dan anti sewenang-wenang. Akan tetapi tidak berarti bahwa dalam pemerintahan Islam itu semua urusan diserahkan kepada keputusan musyarawah Majelis Syura. Dalam parlemen negara Islam, tidaklah akan dipermusyawaratkan terlebih dulu, apakah yang harus menjadi dasar bagi pemerintahan dan tidaklah mesti ditunggu keputusan parlemen terlebih dulu, apakah perlu diadakan pembasmian meminum arak atau tidak. Begitu pula untuk pembasmian judi dan kecabulan, pemberantasan khurafat dan kemusyrikan atau tidak. Itu semua bukan hak musyawarah parlemen. Yang mungkin diperbincangkan ialah cara-cara untuk menjalankan semua hukum itu. Adapun prinsip dan kaedahnya sudah tetap, tidak boleh dibongkar-bongkar lagi.
Membaca gagasan-gagasan Soekarno dan Muhammad Natsir di atas memberikan gambaran adanya pertentangan gagasan tajam di antara kedua tokoh tersebut. Soekarno, berdasarkan analisis perkembangan sejarah, berkesimpulan bahwa agama dan negara tidak dapat disatukan, keduanya harus dipisahkan. Sementara, Natsir menilai bahwa agama dan negara dapat dan harus disatukan, sebab Islam tidak seperti agama-agama lainnya, merupakan agama yang serba mencakup (komprehensif). Persoalan kenegaraan pada dasarnya merupakan bagian dari dan diatur Islam.
Sumber :
Supardi.2006. Konsep Negara Menurut Mohammad Natsir Dan Upaya Mewujudkannya Di Indonesia (1928 – 1959).Skripsi
Adian Husaini, Indonesia Masa Depan Perspektif Peradaban Islam, Orasi Ilmiah dalam acara Tasyakkur gelar “Doktor” Adaian Husaini oleh INSISTS di Aula Masjid Al-Furqan Dewan Da’wah, 18 April 2009
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16149/5/Chapter%20I.pdf.Pemikiran Politik Natsir.
http://bmh.or.id/index.php/profile/sejarah/181.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar