Deru mesin bus di Terminal Pulogadung siang itu masih menyalak. Teriakan kernet yang coba menarik penumpang terdengar di mana-mana.
Seorang lelaki berbaju kuning berjalan terbungkuk ke arah sebuah toko kelontong. Seperti orang sujud yang berjalan. Sesampai di depan toko kelontong, dia mencari tempat yang teduh, tepat di depan pintu toko. Kotak untuk menjual barang asongannya dia taruh di depannya.
Sebuah topi tersemat di kepalanya. Seolah menutupi keriput yang mulai menghiasi wajahnya. Matanya tajam mengawasi setiap orang yang melintas. Sesekali dia menawarkan barang dagangannya.
"Tisu pak? Tisu bu?" katanya menawarkan barang dagangan ke beberapa orang yang melintas.
Pria itu bernama Ahmad. Penggalan panggilan yang diambil dari nama Nabi Muhammad. Asalnya dari Tegal, Jawa Tengah. Ketika ditanya usianya dia sedikit kebingungan.
"Usia saya 70 tahun. Eh..berapa ya?" katanya sambil tersenyum.
Senyuman iklash itu memperlihatkan beberapa giginya yang tampak sudah tanggal. Meski dia tak tahu secara pasti umurnya, ingatannya masih tajam menghitung lamanya berjualan asongan.
"Saya sudah 50 tahun jualan asongan. 40 tahun di kawasan Pasar Induk Beras. 10 tahunnya di sini (Terminal Pulogadung)" katanya.
Dengan suara lirih dia bercerita mengapa memilih jualan asongan. Dia hanya tak ingin kelima anaknya dicap sebagai anak pengemis.
"Saya memilih berdagang. Walau hanya asongan, yang penting martabat saya tidak jatuh," kata dia.
Di saat orang-orang sibuk bersiap pulang ke kampung halaman, Ahmad hanya bisa menunggu. Lebaran tahun ini, bapak dri enam anak ini memilih tinggal.
"Kalau saya gampang. Yang penting anak-anak dan cucu-cucu bisa mudik dulu. Biar mereka ketemu sama ibu dan neneknya di Tegal. Kalau dipikir-pikir sedih sih sedih, kalau dipikir senang ya senang," katanya.
Meski sedih, rona bahagia terpancar dari mukanya. Musim mudik Lebaran ini cukup padar. Lamunannya tertuju pada banyaknya pembeli yang akan membeli dagangannya. Sehari, uang Rp 200 ribu-300 ribu masuk dalam kantongnya. Jumlah itu lebih besar dari penghasilannya setiap hari.
"Setiap harinya kadang dapat Rp 10 ribu. Ya untungnya Allah memberi kemudahan rejeki," katanya.
Ahmad kembali terdiam. Bayangan keluarga di Tegal seolah melintas dalam lamunannya. Sesaat kemudian dia meminta izin untuk pergi. Dia ingin membeli seplastik besar tisu untuk dijual kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar