Belakangan ini cukup ramai
diperbincangkan tentang “Islam Nusantara”. Banyak intelektual, ulama,
politisi, dan pejabat Pemerintah yang menggunakan istilah ini ketika
membicarakan Islam. Pemantik awalnya adalah penggunaan langgam Jawa
dalam tilawah al-Quran pada saat Peringatan Isra’ dan Mi’raj Nabi
Muhammad saw. 17 Mei 2015 lalu di Istana Negara.
Sejak saat itu perbincangan “Islam
Nusantara” menghangat. Apalagi ketika hal tersebut dikaitkan dengan
opini penegakan syariah. Kalangan yang selama ini menolak ide penegakan
syariah menemukan momentum mengajak masyarakat untuk turut dalam
barisannya. Mereka mempropagandakan “Islam Nusantara” sebagai wujud
implementasi Islam terbaik, dibandingkan dengan “Islam Timur Tengah”
yang saat ini diwarnai berbagai konflik.
Bersikap Kritis
Para pengusung dan pendukung ide Islam
Nusantara ini menggunakan berbagai argumentasi untuk meyakinkan
masyarakat. Banyak media massa memberikan ruang yang cukup luas bagi
mereka untuk menyampaikan idenya tersebut. Karena itu perlu ada sikap
kritis terhadap argumentasi yang mereka kemukakan.
Pertama: konsep Islam Nusantara
dianggap sebagai wujud kearifan lokal Indonesia. Ketua Umum PBNU KH
Said Aqil Siradj menyatakan bahwa Islam Nusantara adalah gabungan nilai
Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan
adat-istiadat di Tanah Air. Menurut Said, Islam di Indonesia tidak harus
seperti Islam di Arab atau Timur Tengah. Islam Nusantara, tegasnya,
adalah Islam yang khas ala Indonesia (Republika.co.id, 10/03).
Hal senada dikemukakan oleh Komaruddin
Hidayat, Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Menurut dia, fikih atau paham keberagaman yang tumbuh dalam
masyarakat padang pasir dan bangsa maritim serta pertanian yang hidup
damai, jauh dari suasana konflik dan perang, memerlukan tafsir ulang.
Karena itu menurut Komaruddin, beberapa daerah di Nusantara ini para
wanitanya sudah biasa aktif bertani di sawah untuk membantu ekonomi
keluarga. Mereka sulit disuruh mengganti pakaian adatnya dengan pakaian
model wanita Arab. Di Amerika, dia menambahkan, telah terjadi
Amerikanisasi Islam dan di Eropa terjadi Eropanisasi Islam (Koran Sindo, 10/04).
Argumentasi seperti ini sangat lemah.
Pasalnya, al-Quran diturunkan oleh Allah SWT sebagai petunjuk bagi
seluruh umat manusia, tidak ada kekhususan bagi orang Arab, Eropa, Asia,
dan sebagainya. Tentu kesalahan sangat fatal jika Islam disejajarkan
dengan adat istiadat dan budaya sehingga menganggap ajaran Islam dapat
disesuaikan dengan budaya lokal. Untuk hal yang sifatnya mubah tentu
saja Islam bisa mengakomodasi budaya daerah selama tidak menyalahi
syariah. Misalnya, memakai kopiah pada saat shalat dibolehkan
sebagaimana sorban, karena hal tersebut hukumnya mubah. Namun, memakai jilbab (milhafah [baju kurung/abaya]) merupakan kewajiban bagi setiap Muslimah yang akil balig (lihat: QS al-Ahzab [33]: 59). Karena itu jilbab
tidak boleh diganti dengan sarung dan kebaya karena pertimbangan budaya
lokal di daerah maritim dan agraris, seperti yang diargumentasikan oleh
Komaruddin.
Perlu pula ditegaskan bahwa Islam bukan
produk budaya Arab. Meskipun al-Quran dan al-Hadits berbahasa Arab,
isinya bukan budaya Arab, melainkan perintah Allah SWT untuk seluruh
umat manusia. Karena itu sistem peradilan Islam, sistem pendidikan
Islam, hingga sistem pemerintahan Islam berupa Khilafah Islamiyah
bukanlah produk budaya Arab. Semua itu merupakan perintah Allah SWT yang
termaktub dalam al-Quran dan al-Hadits.
Kedua: Islam Nusantara dianggap
sebagai perwujudan Islam yang bersifat empirik. Guru Besar Filologi
Islam UIN Jakarta, Oman Fathurrahman, menyatakan bahwa Islam Nusantara
itu adalah Islam yang empirik dan distingtif sebagai hasil interaksi,
kontekstualisasi, indigenisasi, penerjemahan dan vernakularisasi Islam
universal dengan realitas sosial, budaya, dan sastra di Indonesia (Nu.or.id, 22/04). Hal tersebut dia kemukakan pada acara Pra-Muktamar ke-33 NU di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (22/04) yang lalu.
Argumentasi Oman tersebut tidak sesuai
dengan realita. Faktanya, di dalam Islam, sesuatu yang bersifat normatif
tidak terpisah dengan empiriknya. Misalnya, secara normatif setiap
Muslim harus taat kepada Allah SWT secara totalitas. Kemudian Rasulullah
saw. menjelaskan secara empirik supaya sifat normatif ini bisa
diimplementasikan, yaitu melalui penegakan institusi Daulah Islamiyah di
Madinah untuk menerapkan syariah Islam secara kaaffah.
Artinya, agar setiap Muslim bisa taat kepada Allah SWT secara totalitas maka syariah Islam harus diterapkan secara kaaffah. Untuk menerapkan syariah secara kaaffah
diperlukan institusi negara. Alasannya, banyak hukum syariah yang tidak
bisa dilaksanakan secara sempurna tanpa adanya negara, misalnya sistem
peradilan Islam, sistem pendidikan Islam, sistem ekonomi Islam, sistem
politik luar negeri, dan sebagainya. Karena itu sesuatu yang normatif
dalam Islam (fikrah/konseptual) tidak terpisah dengan empiriknya yaitu metode (thariqah) untuk menerapkan fikrah/konsep tersebut.
Ketiga: Islam Nusantara
dianggap sebagai bentuk alternatif untuk menampilkan wajah Islam yang
lebih “moderat” dan “toleran”. Hal ini sebagai reaksi terhadap kondisi
Timur Tengah yang saat ini diwarnai konflik berkepanjangan. Karena itu
menurut mereka, Timur Tengah tidak layak dijadikan acuan keberislaman
kaum Muslim. Justru Indonesialah, menurut mereka, yang semestinya
menjadi kiblat peradaban Islam karena Islam di Indonesia dianggap lebih
moderat dan bisa diterima oleh banyak pihak. Wapres Jusuf Kalla dalam
sambutannya di Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI di Pagelaran
Keraton Yogyakarta pada Senin (09/02) lalu juga menyerukan agar Islam di
Indonesia mampu menjadi teladan dan rujukan bagi peradaban dunia.
Argumentasi seperti itu tidak tepat.
Pasalnya, kondisi Timur Tengah yang terus bergolak sesungguhnya bukan
karena faktor Islam. Wilayah ini terus memanas karena strategi penjajah
Barat. Timur Tengah selama ini telah menjadi arena pertarungan
kepentingan antara Inggris, Amerika, Rusia dan Prancis. Sebagai contoh,
konflik yang sedang terjadi di Yaman sekarang ini. Konflik tersebut
sebenarnya bukanlah konflik Syiah-Sunni, tetapi pertarungan Amerika
dengan Inggris untuk merebut kue kekuasaan di Yaman. Karena itu
mengaitkan konflik Timur Tengah dengan sikap keberislaman kaum Muslim di
sana merupakan tindakan naif dan diskriminatif. Tindakan ini telah
menutup mata terhadap apa yang telah dilakukan negara-negara penjajah di
wilayah tersebut.
Keempat: Islam Nusantara
dianggap sebagai sebuah keniscayaan untuk membendung bahaya Islam
Trans-Nasional. Argumentasi ini tidak ada realitanya dan a-historis.
Mereka seakan lupa bahwa Islam sendiri berasal dari Timur Tengah, bukan
‘produk’ asli Indonesia. Kalau mereka konsisten mestinya shalat, shaum,
zakat dan haji mereka sebut juga sebagai produk Trans-Nasional. Sejarah
juga mencatat, bahwa Islam masuk ke negeri ini dibawa oleh ‘orang luar’
yaitu Wali Songo. Jadi Islam itu memang sejak dulu bersifat
Trans-Nasional, mulai didakwahkan secara lintas negeri dari pusat Daulah
Islamiyah di Madinah hingga akhirnya menembus wilayah Romawi, Persia,
Afrika Utara, Eropa, Asia dan seterusnya hingga di Nusantara ini.
Faktanya, tidak ada yang salah dengan
Islam Trans-Nasional sehingga harus dibendung dengan Islam Nusantara.
Memang demikianlah semestinya karakteristik dakwah Islam yang harus
diemban oleh kaum Muslim ke seluruh dunia, melintasi sekat-sekat wilayah
geografis. Justru ide Islam Nusantara yang bersifat kewilayahan
terbatas itulah yang berbahaya karena pada akhirnya akan mengerdilkan
Islam itu sendiri.
Bahaya Terselubung
Paling tidak ada tiga bahaya yang perlu dicermati. Pertama:
ide Islam Nusantara pada dasarnya adalah bagian dari rangkaian proses
sekularisasi pemikiran Islam yang telah digelorakan sejak tahun 80-an
oleh Nurcholis Madjid. Ide Islam Nusantara itu tidak lebih dari
sekularisasi yang diberi warna baru. Di dalam bukunya, “Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan”
(Mizan, 1987), Nurcholis Madjid menyerukan untuk membangun Islam
inklusif yang bersifat terbuka dan toleran terhadap ajaran agama lain
dan budaya keindonesiaan. Ini persis sama dengan argumentasi pengusung
ide Islam Nusantara yang mempropagandakan keterbukaan dan toleransi
terhadap agama dan budaya di Nusantara.
Ini merupakan bukti bahwa upaya
sekularisasi terhadap Islam tidak pernah berhenti, terus berlanjut
hingga kini. Ide Islam Nusantara adalah salah satu bentuk upaya
tersebut. Buku-buku yang mempropagandakan paham sekularisme, pluralisme
dan liberalisme juga terus diterbitkan. Di antaranya adalah buku “Membela Kebebasan Beragama: Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme”
yang diterbitkan oleh LSAF dan Paramadina, 2010. Pada buku tersebut
dituliskan bahwa ketiga paham tersebut, yakni sekularisme, pluralisme
dan liberalisme wajib dikembangkan di Indonesia sebagai prasyarat mutlak
tegaknya demokrasi di Indonesia. Padahal sekularisme, pluralisme dan
liberalisme (sepilis) telah difatwakan haram oleh MUI.
Lebih dari itu, sekularisasi di
Indonesia dan di negeri-negeri Muslim lainnya didukung oleh
negara-negara Barat, khususnya AS. Ini karena mereka berkepentingan
untuk melanggengkan ideologi Kapitalisme di negeri-negeri Muslim
sekaligus menyingkirkan ideologi Islam sebagai rival utamanya. Tentu
kita masih ingat, Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) yang dulu sempat kontroversial karena isinya melanggar syariah itu. CLD KHI didanai oleh The Asia Foundation (TAF) sebesar Rp 6 miliar.
Tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla, saat diwawancarai Majalah Hidayatullah
Desember 2004, mengaku dapat kucuran dana sebesar 1.4 miliar rupiah
pertahun dari TAF untuk tujuan mendorong politik sekular di Indonesia.
TAF yang bermarkas di San Fransisco itu merupakan lembaga internasioanal
yang menjadi payung dana bagi pengembangan ide pluralisme, liberalisme,
sekularisme dan HAM. Sebagaimana dikutip situs resmi pemerintah AS (usinfo.state.gov), LSM ini memiliki 17 kantor cabang di seluruh Asia.
Kedua: ide Islam Nusantara
berpotensi besar untuk memecah-belah kesatuan kaum Muslim. Antar negeri
Muslim akan dipecah-belah melalui isu kedaerahan, ada Islam Nusantara,
Islam Timur Tengah, Islam Turki, dan sebagainya. Ini merupakan politik
belah-bambu atau stick and carrot yang memang merupakan
strategi penjajah untuk melemahkan kaum Muslim. Sebagaimana diketahui,
mereka juga telah membuat kutub kaum Muslim melalui pelabelan
modernis-tradisionalis, radikal-moderat, spiritual-politik,
kultural-struktural, formalis/literalis-substansialis, termasuk Islam
esoteris (Islam hakikat) dengan Islam eksoteris (Islam syariah).
Selanjutnya mereka memberikan dukungan
baik opini maupun dana bagi kelompok-kelompok liberal, modernis,
moderat, esoteris dan sebagainya, sekaligus menekan kelompok-kelompok
yang mereka beri predikat fundamentalis, radikal, eksoteris dan
sebagainya. Mereka juga memberikan ruang politik, publik dan ketokohan
kepada mereka yang pro Barat-AS sekaligus menyempitkan ruang politik dan
publik bagi mereka yang pro syariah dan Khilafah. Mereka pun melakukan
stigmatisasi terhadap ide syariah dan khilafah. Misalnya mengidentikkan
gerakan syariah dan Khilafah sebagai sumber anarkisme dan berpotensi
menyulut konflik horisontal di masyarakat yang tidak cocok dengan kultur
di Nusantara.
Strategi ini termasuk salah satu yang
direkomendasikan oleh Ariel Cohen kepada AS dalam menghadapi gerakan
Islam yang mengusung syariah dan khilafah. Cohen pernah mempublikasikan
hasil risetnya itu yang dibiayai oleh The Heritage Foundation dengan judul ‘Hizb ut-Tahrir: An Emerging Threat to U.S. Interests in Central Asia’ (lihat: www.heritage.org).
Menurut Cohen, salah satu cara melawan kelompok Islam radikal adalah
dengan cara membenturkan kelompok tersebut dengan kelompok Islam
moderat.
Ketiga: ide Islam Nusantara
dapat pula digunakan untuk menghadang upaya penegakan syariah dan
Khilafah. Potensi ideologi Islam melalui penegakan syariah dan Khilafah
telah lama menjadi perhatian serius para peneliti politik di AS.
Keseriusan ini digambarkan oleh Fawaz A Gergez, Guru Besar Sarah Lawrence College, dalam bukunya ‘America and Political Islam’ (1999). Prediksi NIC yang meramalkan Khilafah sebagai salah satu fenomena utama dunia di tahun 2020 juga menunjukkan perhatian think tank
AS terhadap kemungkinan munculnya kekuatan Islam pada masa mendatang.
Tentu hal ini tidak akan dibiarkan oleh Pemerintah AS sebagai informasi
semata, tetapi akan dijadikan sebagai basis kebijakan politik luar
negeri AS dalam membendung segala arus yang membawa potensi kembalinya
Khilafah.
Penutup
Sebagaimana diketahui, negara-negara
kapitalis penjajah dan para pendukungnya berupaya memberikan citra
negatif terhadap syariah Islam dan Khilafah secara sistematis. Syariah
dan Khilafah digambarkan sebagai sesuatu yang membahayakan negeri
Muslim, termasuk Nusantara ini. Tentu sekecil apapun celah yang bisa
digunakan untuk menghadang tegaknya Khilafah akan mereka dukung,
termasuk ide Islam Nusantara yang bermuatan sekularisme itu. Penyebaran
sekularisme tentu akan menjadi jalan paling mulus bagi AS untuk
melanggengkan hegemoninya di negeri-negeri Muslim, termasuk di Indonesia
ini.
Kaum Muslim harus menyadari pula bahwa
kelompok-kelompok liberal yang eksis saat ini tidak lebih dari mesin
politik untuk kepentingan penjajah AS dan sekutunya. Berkedok semboyan
memajukan atau mencerahkan Islam, mereka berupaya menyeret generasi
Muslim menjadi peluru penjajah. Isu utama yang mereka angkat selalu
disesuaikan dengan isu-isu yang yang diusung AS dan sekutunya. Kelompok
liberal di negeri ini bersama Asia Foundation, Heritage Foundation, dan Rand Corporation,
gencar menyerang ide syariah dan Khilafah dengan menganggap syariah dan
Khilafah sebagai ancaman bagi Nusantara. Sebaliknya, perilaku moral
yang rendah, seperti menjamurnya pornografi dan pornoaksi di area publik
akibat liberalisme, juga kesengsaraan ekonomi yang diakibatkan oleh
rusaknya sistem ekonomi kapitalis, tidak direspon sebagai isu utama oleh
mereka. Kucuran dana besar dari penjajah memang cukup ampuh untuk
menciptakan para komprador yang makin mengering akal dan nuraninya.
WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Dr. M. Kusman Sadik]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar