Kamis, 30 Juli 2015

FATWA MUI ; BPJS HARAM

image not displayedMajelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan sistem Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan haram. Tak hanya itu, lembaga ini juga meminta pemerintah untuk membentuk BPJS yang sesuai dengan hukum syariah.

Dari dokumen yang diterima merdeka.com, Rabu (29/7), hasil ijtimak para ulama, MUI telah melakukan kajian mendasar mengenai BPJS Kesehatan tersebut, terutama dari perspektif ekonomi Islam dan fiqh mu'amalah. Dalam penelitian itu, MUI menilai BPJS Kesehatan belum mencerminkan jaminan sosial dalam Islam.

"Secara umum program BPJS Kesehatan belum mencerminkan konsep ideal jaminan sosial dalam Islam, terlebih lagi jika dilihat dari hubungan hukum atau akad antar para pihak," tulis MUI dalam rekomendasi hasil ijtimak.

Tak hanya itu, MUI juga menyorot denda administrasi sebesar 2 persen per bulan dari jumlah iuran tertunggak baik bagi penerima upah maupun bukan. Denda ini dibayarkan secara bersamaan.

Dari hasil pengkajian tersebut, MUI menilai penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan, terutama yang terkait dengan akad antar para pihak, tidak sesuai dengan prinsip syari'ah. Sebab, pelaksanaannya mengandung unsur gharar, maisir dan riba.

"MUI mendorong pemerintah untuk membentuk, menyelenggarakan, dan melakukan pelayanan jaminan sosial berdasarkan prinsip syari'ah dan melakukan pelayanan prima."

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan termasuk dalam kategori haram mendapat reaksi meluas di masyarakat. Penyelenggaraan BPJS khususnya yang terkait dengan akad antar-para pihak, menurut MUI, tidak sesuai dengan prinsip syari’ah karena mengandung unsur gharar, maisir dan riba.

Seperti diketaui, fatwa MUI tersebut dihasilkan melalui Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V Tahun 2015, Komisi B2 Masail Fiqhiyyah Mu’ashirah (masalah fikih kontemporer) tentang panduan Jaminan Kesehatan Nasional dan BPJS Kesehatan.

Ada 5 hal mendasar alasan MUI menyebut BPJS haram:
  • BPJS tidak mencerminkan konsep ideal jaminan sosial dalam Islam.
Menurut MUI dalam sistem akad (hukum) salah satu pihak dirugikan dalam BPJS, yakni pihak peserta.
  • Adanya bunga atau riba
Bunga sebesar 2 persen dibebankan pada peserta BPJS jika mereka menunggak bayaran.
  • Karyawan perusahaan yang menjadi peserta BPJS yang terlambat membayar iuran lebih dari 3 bulan akan diputus.
Ini jelas merugikan karyawan. Gaji dipotong perusahaan dengan alih-alih BPJS tapi tidak dibayarkan.
  • Non karyawan yang menjadi peserta BPJS yang terlambat membayar iuran lebih dari 6 bulan akan diputus.
Ini juga merugikan. Uang yang sudah masuk ke BPJS akan hangus.
  • BPJS dinilai mengandung unsur gharar serta maisir
Gharar berarti ketidakjelasan kualitas dan kuantitas suatu produk sehingga bisa mengandung unsur penipuan. Maisir secara besar menguntungkan pihak tertentu tanpa harus kerja keras.

MUI menyatakan kesehatan adalah hak dasar setiap orang, dan semua warga negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Dengan mempertimbangkan tingkat urgensi kesehatan termasuk menjalankan amanah UUD 1945, maka Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah dianggap telah melakukan beberapa upaya untuk meningkatkan kemudahan akses masyarakat pada fasilitas kesehatan. Di antaranya adalah dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS).

Namun, setelah diperhatikan, secara umum program BPJS Kesehatan -program yang termasuk modus transaksional yang dilakukan oleh BPJS itu, khususnya BPJS Kesehatan- belum mencerminkan konsep ideal jaminan sosial dalam Islam, terlebih lagi jika dilihat dari hubungan hukum atau akad antar para pihak. Hal itu dilihat dari perspektif ekonomi Islam dan fiqh mu’amalah, dengan merujuk pada Fatwa Dewan Syari’ah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan beberapa literatur.
Secara teknis, konsep BPJS bertentangan dengan syar’i karena apabila terjadi keterlambatan pembayaran iuran untuk Pekerja Penerima Upah, maka dikenakan denda administratif sebesar 2% (dua persen) per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 3 (tiga) bulan. Denda tersebut dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak oleh Pemberi Kerja.

Sementara keterlambatan pembayaran Iuran untuk Peserta Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja dikenakan denda keterlambatan sebesar 2% (dua persen) per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 6 (enam) bulan yang dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak.

Dengan demikian, berdasarkan ketentuan hukum, MUI merekomendasikan pada halaman 56 Ijtima Ulama V Tahun 2015 tersebut bahwa, “Penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan, terutama yang terkait dengan akad antar para pihak, tidak sesuai dengan prinsip syari’ah, karena mengandung unsur gharar, maisir dan riba.”

Sebagai solusinya, MUI mendorong pemerintah “Untuk membentuk, menyelenggarakan, dan melakukan pelayanan jaminan sosial berdasarkan prinsip syari’ah dan melakukan pelayanan prima.”


Dirangkum oleh malikkhan 91 blogspot.com dari berbagai sumber.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar